MGMP SEJARAH SMA

MGMP SEJARAH SMA
Kegiatan Guru Sejarah SMA se Kab Batang

Selasa, 13 Desember 2011

ASAL USUL BEBERAPA DESA DI KECAMATAN WONOTUNGGAL


LEGENDA DESA-DESA DI KECAMATAN WONOTUNGGAL
(di edit oleh : Nurrochim, S.Pd Guru Sejarah SMA Negeri 2 Batang)

DESA BATIOMBO

Konon kabarnya yang membuka hutan Batiombo untuk dijadikan perkampungan adalah mbah Soleman. Namun mbah Soleman tidak sendirian, ia dibantu oleh mbah Runtah yang membuka hutan yang kemudian dijadikan desa Wonorejo. Selain membuka hutan untuk dijadikan perkampungan mbah Runtah juga membuat persawahan di  Glendeng dan Kali Asem. Juga ada den Usup yang membuka hutan untuk dijadikan desa Sempu. Ketika sedang membuka hutan den Usup menjumpai pohon asem yang ada empunya (penunggunya), maka hutan yang baru dibuka itu dinamakan Sempu. Karena berjasa dalam membuka hutan menjadi desa Sempu den Usup oleh penduduk diberi julukan Mbah Sempu. Selain membuka hutan untuk perkampungan den Usup juga membuat persawahan dan sungai Jamban sari yang mengalir dari Si Kuntung di desa Wonosegoro sampai Kluwak. Setelah meninggal dunia ketiga orang tadi dimakamkan di makam desa Batiombo yang terletak disebelah selatan desa Batiombo.
Pada waktu yang menjadi kepala desa Haji Sabuk didatangkan guru agama dari Mangkang untuk mengajar penduduk dalam soal agama Islam. Sehingga dalam waktu yang cukup lama banyak penduduk yang mengikuti soal agama Islam.
Dalam kisahnya diceritakan pada suatu waktu ada pangeran yang bernama Mbantu kuwat. Pangeran dari Solo itu mengadakan perjalanan adalah dalam rangka melakukan topo broto (laku prihatin). Sewaktu tiba di sebelah selatan desa Batiombo ia berhenti untuk istirahat dan melakukan sholat. Konon kesaktiannya batu yang digunakan untuk alas sholat tadi membekas telapak kaki, lutut, tangan, dahi dan mata. Dan sampai sekarang batu tersebut dapat dujumpai terletak di tepi sebuah sungai sebelah selatan desa Batiombo.


DESA SI LURAH

Konon kabarnya yang pertama-tama membuka hutan untuk dijadikan perkampungan adalah seorang yang bernama Ki Lurah. Oleh karerna itu daerah yang baru dibuka diberi nama Silurah, sebagai pertanda bahwa yang membuka hutan tersebut adalah Ki Lurah.
Setelah Silurah menjadi desa yang ramai, suatu hari desa dilanda pageblug, yaitu apabila ada orang yang sakit pagi sorenya meninggal dunia, demikian pula kalau sakit sore paginya meninggal dunia. Demikian pageblug terus melanda desa tanpa ada yang dapat menghentikannya, hingga suatu hari ada seorang yang bernama Ki Gonel dengan istrinya Ni Gonel yang dengan kesaktiannya dapat melenyapkan pageblug tadi. Sebagai tanda syukur telah berhasil melenyapkan pageblug, penduduk mengadakan syukuran dengan menyembelih seekor kambing kendit, dan kepalanya ditanam di suatu tempat yang bernama Larangan, sedangkan sebagai hiburannya didatangkan ronggeng dengan gamelan yang digunakan untuk mengiringnya yang berasal dari gunung Rogokusumo yang dapat dipinjam asal dengan memberi sesaji.
Adapun cerita yang terjadi pada penduduk bahwa di gunung Rogokusumo dapat dijumpai adanya emas sebesar kerbau. Karena saking besarnya mampu memberi pengaruh warna kuning bagi orang yang lewat disebelahnya.Itulah mengapa disebut dengan gunung Rogokusumo. Di desa Silurah juga dapat dijumpai adanya pertapaan, yaitu tempat orang-orang yang datang dari daerah manapun untuk bertapa di situ. Dan di tempat tersebut dapat dijumpai adanya tempat untuk membakar kemenyan. Sedangkan gamelan yang bisa dipinjam oleh penduduk bila mengadakan hajat sudah tidak ada lagi, yang ada hanya masih tempat gantungan gongnya saja. Karena pada jaman dahulu tiap penduduk yang meminjam ada yang mengembalikannya terlambat tidak sesuai dengan perjanjian, juga kalau ada yang meminjam tidak merawat sehingga menjadi kotor. Sehingga oleh pemilik perangkat gamelan hal itu tidak menjadi berkenan dan gamelan tidak bisa keluar lagi.


DESA SODONG

Ki Ajar Pendek yang berada di Silurah orangnya berangasan, senang membuat onar (senang adu kasekten). Pada suatu saat Pangeran Kajoran yang asal mulanya dari Wonobodro karena ingin menyebarkan agama Islam mereka mengembara mencari daerah yang memungkinkan untuk mendirikan masjid, sampailah di desa Tombo karena sesuatu hal ide pendirian Masjid di Tombo gagal, dan tempat tersebut dinamakan “Ngelo” dan barang siapa lewat di tempat situ pedagang atau pejabat atau bencoleng akan mengalami kehancuran.
Pangeran Kajoran merantau lagi sampai di suatu tempat yang masih hutan belantara dan banyak dihuni babi hutan sedangkan sarang babi hutan namanya “SODONG”.
Di sinilah Pangeran Kajoran ingin mendirikan masjid, adapun persiapan pembuatan masjid, batur lokasinya yaitu depan SD Sodong 01. sekarang bambu yang untuk buat usuk/rangken itu direndang di Paguyangan dan ada yang hanyut sampai di hutan dan tumbuh di situ, hutan tersebut namanya hutan Larangan (kalau mengambil bambu dari situ untuk membuat bangunan maka tidak akan jadi).
Paguyangan tersebut yang membuat adalah Den Bagus Karang/Ki Carang Aking yaitu seorang pengembala kerbau yang berasal dari daerah Blado dan setiap saat orang mengguyang kerbau/memandikan kerbau di situ kerbaunya senang berkelahi dengan batu di tengah guyangan tersebut maka batu itu namanya “Watu Palem”. Den Bagus Karang, karena masih jaman peperangan dia dibutuhkan ke daerah Plelen (Grinsing) dan di Sodong meninggalkan tempat ibadah dekat Peguyangan. Dan setiap bulan Sapar hari Rabu Kliwon sampai sekarang masih ada.
Pangeran Kajoran akan membuat masjid di Sodong tidak jadi karena ketahuan perawan Sunti (perawan yang tidak punya suami) maka sampai sekarang kalau ada perawan yang kasep banyak yang minta petunjuk dengan mbah Tasmi sehingga akan banyak segera mendapat jodoh (banyak yang datang dari daerah yang lain).
Pembuatan masjid juga dibatalkan karena permusuhan antara Ki Ajar Pendek dengan Pangeran Kajoran. Karena keduanya juga orang sakti maka saling mengeluarkan kesaktiannya yaitu Ki Ajar Pendek mengeluarkan hujan cacing maka pangeran Kajoran mengeluarkan hujan itik, dan Ki Ajar mengeluarkan hujan api maka Pangeran Kajoran mengeluarkan hujan angin yang sekarang namanya si angin-angin dan apabila orang (pejabat, orang yang murka) lewat di situ maka akan segera hancur kedudukannya. Pembuatan masjid dilanjutkan dan “SODONG” hanya untuk “NONOB” atau istirahat atau ngaso dan ngandhong (Ngasodong) menjadi SODONG.
Pengikut Pangeran Kajoran yang namanya Kyai Ageng Asmo (Syeh Baitul Iman) yang meninggalkan Candhen/makom yang berwujud Batu Lima cacahnya yang orang sodong mengatakan batu itu sebagai tanda :
1.      Hitungan pasaran           : Kliwon, Manis, Pahing, Puasa dan Haji.
2.      Rukun Islam                    : Sahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan Haji.
3.       Pancasila                       : Berketuhanan, Berkeprimanusiaan, Bersatu Bermusyawarah,      berkerakyatan, Mempunyai rasa keadilan sosial.
Maka orang sodong selalu melewati rasa kegotong royongannya untuk mencapai sukses bersama.


DESA KEDUNGMALANG

Alkisah ada seorang kyai yang bernama kyai Cagak Aking, yaitu anak buah dari Pangeran Diponegoro. Setelah sampai pada suatu hutan yang lebat ia berhenti dan bermaksud membuka hutan tersebut. Namun ketika membuka hutan dan sampai di sebelah utara di situ sudah ada padukuhan Sumber. Sedangkan yang berkuasa di dukuh Sumber adalah Sutojoyo dan mbah Sarinten yang waktu itu sedang memperluas wilayahnya ke selatan. Di tengah-tengah kedua wilayah tersebut mereka bertemu dan terjadilah adu kekuatan antara kyai Cagak Aking melawan Sutojoyo yang dibantu oleh mbah Sarinten. Setelah bertempur sekian lama ternyata tidak ada yang kalah dan menang. Akhirnya tempat beradunya dua penguasa tadi diberi batas berupa patok dari batu (sampai sekarang masih dapat dijumpai). Setelah kejadian tersebut Sutojoyo dan mbah Sarinten membuat saluran air untuk mengairi sawah. Sewaktu sedang beristirahat dan akan menjalankan sholat, datanglah seekor ular besar yang bermaksud akan mengganggu. Ular besar tersebut adalah utusan dari kyai Cagak Aking yang masih dendam terhadap Sutojoyo dan mbah Sarinten. Oleh Sutojoyo ular tersebut berhasil dibunuh dengan sebilah pedang dan dipotong-potong menjadi tiga bagian. Ekornya tidak diketahui kemana jatuhnya, badannya jatuh di sungai Kupang dan membendung sungai tersebut sehingga menjadi sebuah kedung yang malang. Melihat kejadian tersebut anak buah Sutojoyo dan mbah sarinten melaporkan kepada mbah Nompoboyo. Kemudian oleh mbah Nompoboyo disarankan agar kedung yang malang tadi supaya dijadikan nama desa yang baru dibuka oleh kyai Cagak Aking. Maka jadilah desa tersebut dengan nama Kedungmalang.
Adapun kepala ular tadi jatuh di saluran Sekung yang terletak di sebelah barat desa Kedungmalang. Karena di situ banyak tumbuh pohon pucung yang berderet-deret, maka tempat tersebut diberi nama Pucung Kerep. Dan sampai sekarang pohon pucung tesebut masih dapat dijumpai. Setelah kyai Cagak Aking meninggal dunia dimakamkan di sebelah barat desa Kedungmalang dan oleh masyarakat tempat tersebut sampai sekarang masih dikeramatkan.


DESA SENDANG

Tersebutlah seorang yang berasal dari desa Wonotunggal yang bernama nyai Mogosari. Suatu hari ia mengadakan perjalanan ke selatan dan sampai pada suatu tempat yang ada sumber air (sendang) yang diapit oleh dua pancoran. Oleh kyai Pancoran tempat tersebut diberi nama Sendang Kapit Pancoran. Kemudian nyai Nogosari membuka hutan untuk dijadikan perkampungan yang diberi nama Sendang Larangan. Sendang tersebut diberi nama Sendang Larangan karena tempat tersebut ada larangannya. Konon menurut ceritanya dulu apabila ada orang yang bersalah (pencuri, perampok) pasti akan dapat ditangkap. Namun sekarang penduduk tidak mempercayainya lagi, semuanya diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Setelah desa Sendang Larangan menjadi ramai, nyai Mogosari kembali membuka hutan untuk dijadikan perkampungan lagi. Kampung tersebut karena dibuat terakhir (paling akhir atau anyaran) maka diberi nama Sendang Anyaran.
Setelah masing-masing pedusunan menjadi ramai dan memerlukan pemerintahan yang jelas, maka ketiga dusun tadi dijadikan satu dengan nama desa Sendang. Hal ini mengingat ketiga pedusunan tadi memakai nama Sendang, dan nama Sendang mewakili ketiganya.


DESA WONOTUNGGAL

Konon kabarnya yang pertama membuka hutan Wonotunggal adalah Ki Gede Singosari yang berasal dari Majapahit. Pengikutnya bernama mbah Embo dan mbah Sarinten. Pada jaman dahulu pedukuhan-pedukuhan tersebut masih berdiri sendiri yaitu Sumber, Tegalsari, Siwunut dan Wonotunggal. Kemudian dijadikan satu dengan nama desa Wonotunggal.
Diceritakan pada suatu waktu ada seorang pengembara yang bernama bang Bintulu. Dalam pengembaraannya ia sampai di hutan yang lebat. Di situ ia beristirahat sambil tiduran ia merasakan angin yang semilir/silir-silir dan asri. Kemudian ia berujar kalau suatu saat nanti dan jaman berubah tempat itu menjadi ramai maka diberi nama Tegal Sari (pategalan yang asri).
Sedangkan yang membuka desa Sumber konon kabarnya adalah wali Depok dan membuka desa Siluwok adalah putri Siluwok.
Konon kabarnya di dukuh Silwunut pada setiap bulan Jumadil awal selalu diadakan selamatan desa/nyadren dengan mengadakan pagelaran wayang tersebut Ki dalangnya harus selalu tetap, tidak boleh ganti-ganti. Pernah suatu ketika dalangnya diganti, oleh kejadian tersebut rakyat tidak merasa tenteram. Ada kejadian-kejadian aneh yang selalu menimpa penduduk dengan pergantian dalang tersebut.

DESA BROKOH

Dahulu kala ada seorang wali Ajar yang bernama Ki Ajar Kupang, menurut ceritanya bahwa dalam mengerjakan pekerjaan tidak pernah selesai, hanya satu pekerjaan yang dapat diselesaikan yaitu membuat saluran wura wari. Pernah suatu ketika Ki Ajar Kupang akan membuat masjid, tetapi tidak selesai. Adapun bekas-bekasnya sekarang masih dapat dijumpai yaitu terletak di belakang rumah kepala dusun, yaitu berupa sumber air yang berasal dari kolam yang konon dulu akan dijadikan tempat untuk berwudhu. Sumber air tersebut sekarang digunakan untuk mengairi sawah di sekitarnya.
Daerah Kupang konon kabarnya dulu merupakan hutan jati yang sangat lebat tidak ada pohon lainnya. Setelah dibuka dan dijadikan perkampungan oleh Ki Ajar Kupang, tempat tersebut diberi nama desa Kupang, yang berasal dari nama orang yang membuka hutan tersebut yaitu Ki Ajar Kupang. Makin lama desa Kupang berkembang menjadi desa yang ramai, hingga memerlukan sebuah masjid  untuk menjalankan sholat bagi orang-orang Islam yang sudah menjadi anak buah/pengikut Ki Ajar Kupang. Maka suatu hari untuk keperluan pendirian tersebut Ki Ajar Kupang Memerlukan atap untuk masjid. Namun mencari bahan untuk membuat atap di desa Kupang tidak memperoleh. Kemudian Ki Ajar Kupang mencari di daerah lainnya sambil memperluas wilayah desa Kupang. Sampailah pada suatu hari di tempat sebuah bukit kecil yang banyak ditumbuhi oleh tanaman pandan. Oleh anak buahnya daun pandan tadi dijadikan sebagai bahan untuk membuat atap masjid. Karena hanya daerah situ saja yang ada, maka anak buah Ki Ajar Kupang lalu menetap. Kemudian mereka memberi nama daerah tersebut dengan nama Sipandan. Tetapi lambat laun karena logat bicara orang-orang berubah menjadi Sipandak.
Juga diceritakan suatu saat mbah Nompoboyo sesepuh desa Wonotunggal yang mengutus putra angkatnya yang bernama Bromosari utuk memadamkan pemberontakan di suatu tempat. Namun Bromosari kalah sakti dari pimpinan pemberontak tadi dan meninggal dunia. Oleh pengikutnya ia dimakamkan di tempat itu dan kemudian tempat tersebut diberi nama desa Brokoh. Oleh penduduk dipercaya kadang-kadang dapat dijumpai bunyi seekor kuda yang lari dari belakang balai desa tempat Bromosari dimakamkan dengan bunyi gemerincing yang konon membawa pakaian perangnya.
Di desa Kupang dapat ditemui adanya batu gajah yang dipercaya sebagai tunggangan Ki Ajar Kupang. Selain itu juga ada batu ronggeng yang terletak di tepi sungai. Konon kabarnya dulu Ki Ajar Kupang nanggap ronggeng oleh anak buah Ki Ajar Kupang, ronggeng tadi digoda. Karena merasa terganggu dan tidak mau digoda ronggeng tadi melarikan diri, namun di tengah jalan berjumpa dengan Ki Ajar Kupang. Karena Ki Ajar Kupang merasa nanggap padahal pertunjukan belum selesai tetapi ronggeng tadi melarikan diri. Hal ini membuat Ki Ajar Kupang marah-marah dikutuklah ronggeng tadi menjadi batu.


DESA WATES

Banyu Werno : Pada waktu itu Baurekso sedang menyembunyikan Dewi Ratna Sari di sebuah hutan. Sewaktu Dewi Ratna Sari mau mencari sumber air, di situ ada sumber air yang berwarna-warni. Kemudian ia mengambil air tersebut untuk mencuci beras, namun setelah dicuci beras tersebut untuk mencuci beras. Namun setelah dicuci beras tersebut  sampai beberapa hari tidak masak. Karena tidak masak (menjadi nasi) beras tadi dibuang dan menjelma menjadi batu, dan batu tersebut diberi nama Batu Beras, setelah itu Dewi Ratna Sari melapokan kepada pangeran Baurekso akan kejadian tadi kemudian pangeran Baurekso mandi pada sumber air tadi dan mendapatkan daya kelebihan kesaktiannya berlipat, kemudian Baurekso berujar suatu saat nanti tempat itu diberi nama Banyu Werno. Setelah aman pangeran Baurekso pulang kembali ke Mataram.
Pungangan  : Alkisah ada kyai bernama Cermin waktu itu kebingungan mencari empu, guna membuat dua buah keris dan berjumpa dengan seorang yang sedang menyabit rumput, terhadap orang tersebut maksudnya diutarakan orang tersebut memerintahkan supaya mendekati wanggan/sumber mata air. Setelah dekat ternyata orang yang sedang menyabit tersebut adalah seorang wali dengan nama wali Supo. Akhirnya keris tersebut dibuat oleh wali Supo, kemudian diberi nama Pungangan, yang artinya empu di tepi wangan/saluran. Setelah keris diserahkan kepada kyai cermin, empu tadi hilang tidak tahu rimbanya.
Getas/Gebryur : waktu Ki Ajar Kupang sedang memperluas wilayahnya di wilayah Kupang, sampai sebelah barat hutan jati, dipanggil oleh ratu pantai selatan, setelah sampai di sana ada seorang perempuan/putri yang sedang termenung, terus ditanya oleh Ki Ajar Kupang mengapa duduk di situ, si perempuan dimarahi oleh ratu pantai selatan karena tidak punya pisau untuk mengiris-iris bumbu dapur. Kemudian oleh Ki Ajar Kupang ia diberi pisau, sambil diujar, nanti kalau sudah selesai mohon dikembalikan. Setelah itu Ki Ajar Kupang kembali ke Kupang guna memperluas wilayah. Kemudian setelah selesai anak putri tadi menyusul akan mengembalikan pisau tadi dengan diselipkan di perut, akhirya ketemu lagi dengan Ki Ajar Kupang. Kemudian ditanya oleh Ki Ajar Kupang di mana meletakkan pisau tadi. Si perempuan tadi mengatakan kalau pisaunya diselipkan di perut. Melihat itu Ki Ajar Kupang mengatakan kalau pisau tadi diselipkan di perut bisa hamil. Dan ternyata benar-benar perempuan tadi hamil, karena hamil dan tidak punya suami padahal ia putri modin karena bapaknya marah, kemudian ia diusir. Setelah cukup besar kandungannya bisa bicara, dan meminta kepada ibunya kalau nanti melahirkan jangan di hutan, tapi di atas batu besar di tepi sungai setelah lahir ternyata bayi tadi berwujud ular. Karena telah melahirkan dan tidak punya suami sedangkan nasibnya perlu dikasihani maka ia mendapat julukan si Rondo Kasihan. Kemudian si Rondo Kasihan menyepak ular tadi hingga jatuh ke dalam sungai (jatuh ngeguyur). Waktu itu Ki Ajar Kupang mengetahui dan tempat tersebut diberi nama Getan Gebyrur. Setelah melahirkan si Rondo Kasihan kemudian meninggal dunia dan dimakamkan di desa Gebyrur. Kemudian setelah besar ular anak si Rondo Kasihan mencari Ki Ajar Kupang. Dalam pencarian itu ia melewati sebuah gunung dan gunung tersebut tugel/ putus terkena tubuhnya, maka kemudian tempat tersebut diberi nama Gunung Tugel.
Wates  : Dulu ada seorang kepala desa yang mempunyai istri, satu di Pungangan dan satu lagi di Getas Gebyrur, karena kesulitan untuk berkomunikasi, akhirnya kepala desa tadi bertempat tinggal di tengah-tengah antara Getas Gebyrur. Tempat tinggal kepala desa itu dinamakan Desa Watas, karena merupakan batas/watas antara Getas Gebyrur dan Pungangan.


DESA SIGAYAM

Tersebutlah kyai Gede Singosari yang merasa kalah lalu melarikan diri dan sampai pada sebuah hutan lebat. Namun ia tidak membuka hutan itu melainkan hanya beristirahat saja dan mengambil sebagian tempat saja yaitu disekitar pohon jati siroyom. Kemudian tempat itu dinamakan Losari mengambil nama belakang kyai Gede Singosari.
Pada suatu ketika datanglah dua orang suami istri yaitu kyai Sundoro dan kyai Sundari. Sesampai di daerah sekitar Losari mereka bermaksud untuk membuka hutan, tapi mungkin karena kewibawaan tempat tersebut dan kyai tersebut tidak dapat melawannya akhirnya kedua suami istri itu kembali naik ke hutan sebelah atasnya. Dan dari tempat itulah kemudian mereka kembali membuka hutan dan berhasil. Sebagai peringatan maka ditanamlah pohon gayam. Pohon tersebut tumbuh besar sampai berbuah dan kyai Sundoro sudah bisa melihat buahnya. Setelah cukup lama menetap di situ kyai Sundoro meninggal dunia, oleh penduduk dimakamkan di sebelah barat desa. Dan sebagai tanda penghormatan kepada orang yang telah berjasa membuat pemukiman penduduk, maka desa yang terbentuk itu diberi nama desa Sigayam. Mengambil dari nama pohon yang ditanam oleh kyai Sundoro sewaktu hidup. Akhirnya tempat tersebut menjadi ramai setelah penduduk banyak yang berdatangan dan ada pula yang membuka hutan lagi untuk memperluas wilayah desa Sigayam.


DESA SIWATU

Konon kabarnya ada dua orang suami istri yaitu kyai Selogati dan istrinya nyai Selogati. Kedua suami istri tersebut membuka hutan lebat yang akan dijadikan perkampungan. Ketika sedang membuka hutan mereka menemukan sebuah sumur yang penuh dengan batu. Oleh karena itu tempat tersebut untuk mudahnya diberi nama Sumur Watu yang kemudian lambat laun ejaanya berubah menjadi Siwatu. Lambat laun desa Siwatu berkembang menjadi sebuah desa yang ramai. Setelah cukup lama mengabdi pada desa Siwatu kyai Selogaati meninggal dunia. Oleh penduduk dimakamkan di sebelah timur desa Siwatu dan tempat makam itu disebut dengan Lemah Kesucian, konon kabarnya di sekitar wilayah tersebut tidak bolah dijadikan tempat pagelaran wayang kulit. Dan sampai sekarang pun penduduk tidak ada yang berani melanggar pantangan itu.
Selain itu di wilayah desa Siwatu juga dapat dijumpai sebuah dukuh dengan nama Sitotok. Konon kabarnya yang membuka daerah tersebut aalah kyai Kloneng. Sewaktu membuka hutan ia menemukan sebuah totok/tempurung kura-kura besar. Oleh karena itu tempat tersebut diberi nama Sitotok. Demikianlah akhirnya Sitotok berkembang menjadi desa yang ramai. Selain desa Sitotok juga ada Kepompongan. Di dukuh Kepompongan ini dapat dijumpai tempat yang bernama Kebutuh. Konon kabarnya tempat itu diberi nama Kebutuh karena pada suatu ketika pecah perang antara barat dan sebelah timur sungai. Sewaktu tentara dari sebelah barat mau menyerang timur tiba-tiba datanglah banjir besar sehingga penyerangan tidak diteruskan karena terhalang (dalam bahasa jawa kebutuh) banjir tadi. Dan konon kabarnya kuda beserta peralatan perang sang senopati dikubur di tempat itu karena tidak jadi mengadakan penyerangan. Demikian sebagai peringatan tempat tersebut diberi nama Kebutuh.


DESA DRINGO

Dulu ada seorang yang sakti bernama Sutojoyo. Karena kesaktiannya ia sanggup membuka hutan seorang diri. Begitulah dengan ketekunannya di hutan yang semula lebat bisa menjadi perkampungan yang ramai. Namun sayang perkampungan tersebut belum mempunyai nama. Hingga suatu ketika lewatlah seorang Adipati dari daerah Cirebon yang mau menghadap sang ratu di Mataram. Sewaktu lewat di tempat tersebut kudanya terantuk pada akar yang merintang, dan kuda beserta penunggangnya jatuh ke tanah dan kuda itu mati. Kuda yang malang tersebut oleh sang adipati diberi nama Dringo. Dan di tempat itu pula kuda tersebut dikubur. Dan sebagai pertanda bahwa tempat tersebut adalah tempat menguburkan kuda kesayangannya, sang adipati memberi nama tempat tersebut dengan nama desa Dringo.
Konon diceritakan bahwa di sebelah barat desa Dringo hidup seorang tua yang bernama mbah Engkuk. Mbah Engkuk mempunyai peliharaan seekor cacing yang sebesar kendang (besar namun panjangnya kira-kira satu meter). Adapun cacing tersebut hidupnya di rawa. Suatu hari mbah engkuk mengambil cacing tersebut, namun ketika sampai di darat cacing tersebut hilang entah kemana. Kemudian tempat tersebut oleh mbah Engkuk diberi nama dengan desa Rowocacing. Adapun rawa-rawa yang ada dapat dijumpai tiap musim hujan, namun pada musim kemarau air rawa tersebut tidak ada lagi.


DESA PENANGKAN

Dulu ada seorang prajurit yang bernama Joko Loyoyang melarikan diri dan bersembunyi di belik/sumber air Sinongko. Disebut Sinongko karena sumber air tersebut berada di bawah pohon nangka Wasi (nangka yang sudah tua dan besar sekali). Sewaktu duduk beristirahat ada buah yang masak dan jatuh ke tengah sumber air, dan oleh Joko Loyo diambil dengan maksud akan dipotong-potong untuk dimakan. Namun ketika pedang yang ia gunakan tidak berhasil memotong buah nangka dan jatuh bersama Joko Loyo ke dalam air sumber air tersebut. Tanpa didasari ternyata membuat Joko Loyo membuat sakit. Karena merasa sudah mampu, maka Joko Loyo membuka hutan seorang diri untuk dijadikan perkampungan. Olehnya kampung yang baru dibuka itu diberi nama dengan Penangkan, artinya tempat beradanya pohon nangka.
Konon diceritakan, pada suatu hari ada utusan dari Dracik yang mencari di mana sebetulnya tempat petilasan dari Joko Loyo. Dalam perjalanan mencari petilasan tersebut ia selalu mengambil tanah dan menciumnya untuk mengetahui petilasan Joko Loyo. Demikianlah hal itu dilakukan berulang-ulang hingga sampai di daeah Penangkan. Ketika mengambil tanah di situ dan menciumnya, ia merasa cocok bahwa di tempat itulah petilasan Joko Loyo berada. Kemudian sebagai pertanda bahwa itu merupakan tempat petilasan Joko Loyo ditanamlah pohon mangga. Dan sampai sekarang pohon mangga tersebut masih ada di atas petilasan Joko Loyo.
Di desa Penangkan ada suatu tempat yang namanya Siguo, konon kabarnya di tempat itu dulu ada seorang yang pertapa yang berasal dari Kesesi. Setelah bertapa tersebut pulang dan di desanya ia terpilih menjadi kepala desa. 50 meter ke bawah dari Siguo dapat dijumpai sebuah batu besar. Penduduk menyebutnya dengan nama batu Gedogan (kandang kuda). Konon kabarnya dari tempat itu kadang terdengar suara kuda yang sedang meninggalkan kandang (gedogan) oleh karena itulah batu itu dinamakan batu Gedogan. Dan oleh penduduk tiap malam jumat kliwon dalam bulam Suro diberikan sesaji berupa katul dan tetes. Dan 200 meter ke bawah lagi dapat dijumpai makam dari :
1.      Syeh Siti Jenar
2.      Syeh Jambu Karang
3.      Syeh Jambu
4.      Syeh Maulana.
Keempat orang tersebut berada dalam satu makam dan berada di bawah pohon mangga. Makam tersebut ditandai dengan sebuah batu yang oleh penduduk dinamakan batu Lumpang, karena bentuknya seperti Lumpang (tempat menumbuk padi). Konon kabarnya apabila batu tersebut disingkirkan pasti akan kembali lagi ke tempat semula dengan sendirinya.
Sedangkan pedukuhan yang lain adalah Wonoedi. Konon kabarnya yang membuka hutan tersebut adalah mbah Rasup. Dinamakan Wonoedi karena hutan di daerah tersebut itu indah (dalam bahasa jawa edi) kemudian hutan (wono) yang indah (edi) tersebut digunakan untuk memberi nama desa yang baru dibuka oleh mbah Rasup sebagai tanda bahwa di tempat tersebut semula hutannya indah. Di dukuh Wonoedi dapat dijumpai sebuah mata air yang oleh penduduk dipercaya berasal dari Bismo. Mata air tersebut dapat dijadikan tanda, yaitu kalau airnya berwarna putih akan ada penduduk yang meninggal dunia. Hal itu sampai sekarang masih bisa dijumpai dan penduduk mempercayainya.

Sabtu, 10 Desember 2011

BATANG DALAM LEGENDA

BATANG DALAM LEGENDA
(Sebuah Kajian Sejarah Toponim)
oleh : Nurrochim 
Guru Sejarah SMA Negeri 2 Batang

Kajian sejarah toponomi ini merupakan salah satu upaya dalam menjelaskan sejarah asal – usul nama suatu tempat yang ada di Kabupaten Batang. Ternyata setelah dilakukan penelitian, baik yang bersifat kajian arsip maupun berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa sesepuh dan nara sumber yang layak untuk itu, menyebutkan nama tempat yang ada di Kabupaten Batang, tidak sekedar nama saja. Hampir semua nama yang dikaji pada pengkajian nama kali ini, mempunyai riwayat sendiri – sendiri.Berdasarkan hasil kajian sejarah nama tempat yang ada di Kabupaten Batang, dapat dikelompokkan asal – usul nama tersebut sebagai berikut:
1.  Nama tempat tersebut berdasarkan suatu peristiwa sejarah yang  benar – benar terjadi. Suatu peristiwa yang dianggap masyarakat setempat sangat penting dan selalu menjadi patokan atau dikaitkan dengan nama tempat peristiwa itu terjadi.
2.  Nama tempat tersebut dikaitkan dengan vegetasi atau tumbuh – tumbuhan yang banyak ditemukan disuatu tempat. Nama tumbuh – tumbuhan yang banyak di suatu tempat, lama kelamaan menjadi nama tempat tersebut.
3.  Nama tempat tersebut dikaitkan dengan nama seorang tokoh yang pernah bermukim atau yang memiliki tempat tersebut. Karena terkenalnya seseorang disuatu tempat, maka menyebabkan masyarakat lebih mengenal tokoh tersebut, lama kelamaan nama tokoh itu menjadi menjadi nama tempat dan sekaligus sebagai penanda tempat atau kampung.
4.  Nama tempat tersebut dikaitkan dengan bentukan alam atau letak suatu ditempat tertentu. Masyarakat mengaitkan nama suatu tempat dengan bentukan alam yang khas di suatu tempat,
5.  Nama suatu tempat atau kampung dikaitkan dengan konsentrasi sekelompok orang (pendatang) yang bermukim di suatu tempat tertentu. Masyarakat setempat mengaitkan nama suatu tempat dengan nama suku atau nama etnis ataupun nama tempat asal pendatang yang mendiami tempat tersebut.
6.  Nama suatu tempat atau kampung dikaitkan dengan nama hewan atau nama binatang yang banyak ditemukan ditempat tersebut.

LEGENDA KOTA BATANG

Legenda merupakan cerita rakyat pada jaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah, misalnya tentang nama asal-usul suatu daerah, asal-usul suatu danau atau gunung dan sebagainya. Cerita ini berkembang secara lisan, dan turun-temurun, bagi setiap daerah memiliki legenda yang diyakini kebenarannya oleh sebagian orang. Contohnya legenda tentang kota Batang.
Menurut legenda yang sangat populer, Batang berasal dari kata            “ Ngembat Watang “ yang berarti mengangkat batag kayu.hal ini di ambil dari peristiwa kepahlawanan Ki Ageng Bhahurekso, yang dianggap sebagai cikal bakal Batang. Ki Ageng Bhahurekso adalah anak dari Ki Ageng Cempaluk dari Kesesi (Sebelah Selatan kota Pekalongan, sekarang telah menjadi daerah Kecamatan Kesesi sebagian dari Kabupaten Pekalongan). Adapun legendanya diceritakan sebagai berikut :

Konon pada waktu kerajaan Mataram di bawah kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumomempersiapkan daerah-daerah pertanian untuk mencukupi persediaan beras bagi para prajurit Mataram yang akan mengadakan penyerangan terhadap VOC di Batavia ( sekarang Jakarta ). Bhahurekso mendapat tugas dari Sultan Agung untuk membuka alas roban untuk dijadikan daerah persawahan. Hambatan dalam melaksanakantugas ternayata cukup banyak. Para pekerja penebang kayu banyak yang sakit dan mati, karena konon diganggu oleh jin, setan, peri kayangan atau silumanpenjaga alas roban. Mahluk – mahluk halus ini dipimpin oleh raja siluman yang bernama Dadang awuk.

Mengenai alas roban, dari beberapa sumber mengatakan, Roban dahulu merupakan hutan alami yang menyeramkan, sehingga dianggap angker dan penuh misteri. Hutan ini dianggap tempat bermukimnya jin, setan, gondoruwo, bahkan raksasa serta orang-orang sesat. Dalam dunia pewayangan, alas roban digambarkan sebagai tempat bermukimnya raksasa Sindumaya, dimana petruk memperoleh bantuan darinya untuk suatu maksud. Bahkan menurut buku Serat Kidungan : Jangkop Babon Asli Keraton Surakarta, disebutkan  bahwa di alas roban terdapat penguasa “Bagus Karang” sebagai mahluk lelembut yang sangat menyeramkan.

Berkat kesaktian Bhahurekso, atas gemblengan kanuragan dari ayahandanya Ki Ageng Cempaluk, akhirnya raja-raja siluman itu dapat dikalahkan dan berakhirlah gangguan-gangguan tersebut walaupun dengan satu syarat bahwa raja-raja siluman itu harus mendapat bagian dari hasil panen daerah tersebut.

Kemudian Alas Roban sebelah Barat dapat ditebang seluruhnya. Tugasnya kini tinggal mengusakan pengairan atas lahan yang telah di bukanya itu. Tetapi untuk pelaksanaan sisa pekerjaan inipun tidak luput dari gangguan maupun halangan-halangan dari raja-raja siluman lain.

Gangguan utama adalah dari raja siluman Uling yang bernama Kolo Drubikso. Bendungan yang telah selesai di buat untuk menaikkan air sungai lojahan, yang sekarang bernama Sungai Kramat itu selalu jebol, karena di rusak oleh anak buah Raja Uling. Mengetahui hal itu Bhahurekso langsung turun tangan, semua anak buah raja Uling yang bermarkas di sebuah kedung sungai di serangnya. Korban berjatuhan  di pihak Uling, merahnya semburan-semburan darah membuat air di kedung menjadi merah darah kehitaman “gowok”, maka kedung itu dinamakan Kedung Sigawok. Raja Uling marah melihat semua anak buahnya binasa. Dengan pedang swedang tersebut, Bhahurekso dapat dikalahkan. Siasat segera dilakukan, atas nasihat ayahandanya Ki Ageng Cempaluk, Bhahurekso di suruh masuk ke Kaputren kerajaan Uling, untuk merayu adik sang raja yang  bernama Drubiksowati, seorang putri siluman yang cantik. Rayuan Bhahurekso berhasil, Drubiksowati mau menceritakan pedang pusaka milik kakaknya itu, dan diserahkan kepadanya. Dengan pedang Swedang ditangan, dengan mudah raja Uling di kalahkan, dengan demikian maka gangguan terhadap bendungan sudah tidak pernah terjadi lagi.

Ternyata air di bendungan itu selalu lancar alirannya, kadang-kadang besar, kadang-kadang kecil, bahkan tidak mengalir sama sekali. Setelah di selidiki ternyata ada batang kayu (watang) besar, yang melintang menghalangi aliran air. Berpuluh – puluh orang disuruh mengangkat memindahkan watang tersebut, tetapi sama sekali tidak berhasil. Akhirnya Bhahurekso turun tangan sendiri. Setelah berdo’a, memusatkan kekuatan dan kesaktiannya, watang yang besar itu dengan mudah dapat diangkat dengan sekali embat patahlah watang itu.

Demikianlah dari peristiwa Ngembat Watang itu terjadilah nama BATANG dari kata Ngem – Bat Watang ( Batang ).

Orang Batang sendiri dengan dialeknya menyebut “Mbatang”. Melihat uraian dari sumber lisan atau legenda tersebut, kita dapat memperkirakan sejak kapan nama Batang itu terjadi. Persiapan Mataram untuk menyerang Batavia adalah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo tahun 1613 s/d 1645. Penyerangan pertama ke Batavia pada tahun 1628. Ambilah persiapan sedini-dininya, yaitu awal permulaan Sultan Agung, maka itu terjadi pada tahun 1613.

Adapula versi lain yang menceritakan tentang  legenda kota Batang :

ASAL – USUL KOTA BATANG

Pada jaman dahulu kala di sebuah desa Kalisalak hiduplah seorang gadis cantik jelita yang bernama Dewi Rantan sari anak dari Mbok Rondo, karena kecantikannya tersebut maka Sultan Mataram yang bernama Sultan Agung Hanyokrokusumo jatuh cinta kepada Dewi Rantan Sari. Ia menyuruh Bhahurekso yang biasa dikenal bernama Joko Bau anak dari Ki Agung Cempalek dari Kesesi untuk melamar Dewi Rantan Sari.
Sesampainya di kediaman Rantan sari, Bhahurekso terpesona dan jatuh cinta kepada Dewi Rantan sari, begitu pula sebaliknya Dewi Rantan Sari, begitu pula sebaliknya Dewi Rantan Sari jatuh cinta pada Bhahurekso. Akhirnya Bhahurekso melamarnya untuk dirinya sendiri tanpa sepengetahuan Sultan Mataram yang mengutusnya, dalam perjalanan pulang menuju Mataram dia terus berfikir bagaimana caranya bicara denagan Sultan Mataram atas peristiwa tersebut. Tidak lama dalam perjalanan tersebut Bhahurekso bertemu dengan gadis cantik lainnya yang juga yang wajahnya mirip dan secantik Rantan Sari di desa Kalibeluk anak seorang penjual serabi yang bernama Endang Wiranti, segera setelah muncul sebuah rencana di benak Bhahurekso, ia berencana membawa Endang Wiranti ke Mataram untuk diperkenalkan kepada Sultan Mataram sebagai Rantan Sari.
Akhirnya diputuskan Bhahurekso meminta Endang Wiranti menyamar menjadi Rantan Sari dan Endang menyetujui rencana tersebut, sesampai di kota Mataram Endang dipertemukan dengan Sultan, tidak lama Endang Wiranti jatuh pingsan, sultan menjadi curiga atas kejadian tersebut, setelah siuman dari pingsannya Sultan bertanya kepada Rantan Sari gadungan, Endang Wiranti menjadi sangat ketakutan dan akhirnya berterus terang mengatakan yang sesungguhnya bahwa sebenarnya dia ini bukan Rantan Sari yang dimaksudkan Sultan, tetapi adalah Endang Wiranti anak seorang penjual serabi dari desa Kalibeluk dia mengakui segala rencana yang disusun Bhahurekso untuk menipu Sultan Mataram karena Bhahurekso terlanjur jatuh cinta dan menikahi dewi Rantan sari gadis cantik yang hendak dipersunting Sultan Mataram.
Karena keterusterangan Endang Wiranti ini, Sultan sangat menghargai kejujuran Endang Wiranti dengan menghadiahkan sejumlah uang yang cukup banyak untuk modal meneruskan berjualan serabi dan diantarkan pulang ke Kalibeluk, Endang mohon pamit pulang dan mohon dimaafkan atas kejadian tersebut.
Sebagai hukuman atas kejadian kebohongan tersebut Sultan menghukum Bhahurekso dengan tugas berat berupa membuka hutan lebat yang sangat berbahaya karena banyak dihuni jin dan setan dengan menebang pohon-pohon besar dan berperang melawan jin penghuni alas roban. Karena Bhahurekso bersalah dan menerima hukuman itu dan langsung sesampainya disana Bhahurekso menebang semua pohon besar yang ada di alas Roban.
Sebenarnya pohon-pohon besar itu adalah jelmaan para siluman yang dipimpin oleh seorang siluman raksasa yang mempunyai anak yang sangat cantik bernama Dubrikso wati, sebagai tanda menyerah atas kemenangan Bhahurekso yang sangat sakti itu raja siluman memberi hadiah berupa putrinya untuk dinikahi Bhahurekso. Bhahurekso menyetujui dan menikahi Dubrikso Wati dan memiliki seorang anak laki-laki yang diberi nama Banteng.
Akibat dari penebangan pohon-pohon hutan yang besar-besar tersebut, bau, maka banyak bangkai-bangkai siluman berupa batang-batang (istilah Jawa) yang terapung di sungai, setelah hujan besar, sejak saat itu maka tempat tersebut disebut BATANG yang sekarang disebut Kota Batang.

LEGENDA THR KRAMAT

Kramat merupakan salah satu tempat rekreasi di Kabupaten Batang yang cukup dikenal, berlokasi di Kecamatan Batang tepatnya di Kelurahan Proyonanggan Selatan, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Pada hari-hari libur dan setiap hari Jum’at Kliwon, tempat tersebut dipadati para pengunjung baik domestik maupun daerah lain.
Bagi golongan tua yang meyakini suatu kepercayaan tertentu memiliki arti tersendiri yang melalatarbelakangi kehadirannya ke tempat tersebut, sedangkan para generasi muda pada umumnya hanya bermotif hiburan belaka.
Menurut para tetua (sesepuh) adat Batang, mengatakan bahwa tempat tersebut dinamakan Kramat karena di sana terdapat banyak petilasan, baik berbentuk bekas pemujaan nenek moyang pada jaman bahari, tempat istirahat seorang tokoh/panutan, tempat memberi wejangan pesalatan dan bahkan beberapa makam tokoh lengkap ada di seputar Kramat tersebut.
Oleh para anggota masyarakat tradisional, tempat-tempat seperti itu dianggap kramat, sehingga pantas apabila tempat di seputar sugai Lojahan yang juga dikenal sebagai sungai Kramat, Sambong atau Klidang itu yang memanjang dari Utara ke Selatan dan berbatasan dengan desa Kecepak dan Pasekaran itu disebut Kramat.
Dari hal-hal tersebutlah, mungkin yang menjadikan Bupati pertama Kanjeng Raden Adipati Batang ( R. Prawiro ) berkenan memberikan nama lokasi itu dengan nama “Kramat”.
Lebih lanjut para tetua (sesepuh) adat Batang mengemukakan secara kronologis, mengapa daerah tersebut disebut Kramat, menurut mereka, dahulu disekitar bendungan Kendungdowo (lama) terdapat sebuah batu yang terkenal oleh masyarakat setempat sebagai “watu angkrik “ dan sampai sekarang peninggalan lain yang bisa dilihat yaitu ‘Watu Ambon”. Kedua batu tersebut diduga dahulu digunakan oleh nenek moyang kita jaman pra sejarah sebagai tempat pemujaan arwah leluhur.
Pada perkembangan agama Islam pertama di Pulau Jawa, kawasan tersebut diyakini pernah dilalui Sunan Kalijaga semasa beliau menjalankan tugas dari Sunan Bonang untuk berdakwah di lingkungan Pulau Jawa bagian Barat, begitu pula dahulu Sunan Kalijaga saat berguru di Bumi Cirebon singgah di daerah yang kelak dinamakan Kramat.
Dikemukakan pula oleh para tetua (sesepuh)  adat Batang bahwa dua orang dari negeri Arab, yaitu seorang yang bergelar Syekh dan Sayid, dengan tekun mengembnagkan syiar Islam di wilayah Kramat dan sekitarnya, keduanya wafat dan dikebumikan di makam di desa Pasekaran. Bahkan oleh para tetua (sesepuh ) adat Batang tersebut meyakini pula bahwa seorang ulama besar dahulu pernah menjalankan syiar Islam di seputar kawasan Kramat tersebut.
Kini di sekitar lokasi Kramat, sudah ditunjang dengan sarana peningkatan jalan, ada bendungan baru dan pembenahan lokasi, taman hiburan dengan pembangunan fisik serta jenis-jenis hiburan yang dipergelarkan sehingga merubah tradisi tersebut.

LEGENDA KRAMAT KAITANNYA DENGAN BHAHUREKSO

Kaitan legenda Kramat dengan Bhahurekso (pejabat tinggi pada pemerintahan Sultan Agung) dari Mataram 1613 – 1645 M), amat erat dan mendalam sekali, dikemukakan oleh sesepuh adat, di sekitar wilayah Kedunggowok (sebelelah Utara Kedung Dowo) disanalah pernah terjadi peristiwa penting, yaitu awal terjadinya Kabupaten Batang.
Pada waktu itu ajang perjuangan dimaksud, terjadi menjelang masa Sultan Agung (1613 M), yaitu saat Bhahurekso membantu Menteri Pamajengan Sasak Layangsari membasmi perampok pimpinan Drubekso yang mengaku “raja” di wilayah kekuasaannya. Kedua kekuatan tersebut berbenturan, namun jalannya alot dan seimbang sehingga oleh Bhahurekso diibaratkan bagai “ambet – ambetan watang” (mengambat galah). Dari asal ibarat ini, lahir nama Batang dan dipatrikan secara abadi sebagai nama kota serta kabupaten.
Untuk mengenang dan menghayati para pejuang dan perintis Batang tersebut, Bupati pertama Pangeran Adipati Mandurejo, mengadakan tradisi ziarah ke lokasi bekas ajang perjuangan di sekitar Keramat tersebut. Yang diikuti serta dilestarikan masyarakat setempat sampai sekarang.


LEGENDA UJUNG NEGORO

Salah satu desa di kawasan Pantai Jawa. Lingkup wilayah Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, bernama “Ujung Negoro”. Nama desa yang khas ini, menggelitik bagi para peminat, pemeran dan sejarawan, guna mengetahui latar belakang sejarahnya.
Menurut keluarga R. Soenarjo, Ujung Negoro yang merupakan salah satu kawasan pemukiman dan pemerintahan ditingkat desa, mempunyai kaitan erat dengan perkembnagan Kabupaten Batang di Batang ini.
Di Pantai yang sekarang dikenal termasuk desa Ujung Negoro ini, dahulu di abad 17 yaitu masa awal berdirinya Kabupaten Batang, oleh sumber itu dituturkan, menjadi tempat berlabuhnya jung-jung atau perahu-perahu dari negeri Cina. Dan bermula bermangkalnya “Jung-jung saka Cina” dalam bahasa daerah yang berasal dari Negeri Cina. Akhirnya tempat tersebut disebut Ujung Negoro.
Bermangkalnya perahu-perahu besar dari Cina itu menurut sumber yang sama, tidak lain milik para perampokpimpinan Baurekso. Yang mengaku berkuasa di seputar kali “Lojahan” (Sambong – Kramat ) penguasa lokal tidak mau mengakui yang dipertuan Mataram Islam itu.
Menurut Bapak R. Soedibjo Giri Soerjaham Logo, dalam majalah “Gema Pembangunan” Edisi khusus babad Pekalongan, terbitan Pemda Pekalongan, Nomor 27 Pekalongan 10 Juli 1975, disebut “Sang Tunjang Mlaya” (Teratai putih yang melayang-layang) atau “sang Raja Uling kanting”.
Sedangkan menurut penuturan sementara penduduk, Drubekso yang mengakui “Penguasa” itu, disebut Uling, sebab ia dan kawan-kawannya ternyata tangguh dan ulet dalam upaya mempertahankan kawasan yang tidak sah itu. Sementara pendapat yang lain “Uling” tidak lain berasal dari bahasa Cina yaitu “Heling”.
Menurut keluarga R. Soenarjo, lebih lanjut menuturkan bahwa daerah kekuasaan “Heling” (Uling) atau Drubikso memanjang pantai Jawa, dan kawasan Gambiran (Pekalongan) sampai Alas Roban (Timur Batang), dari hilir sungai “Lojahan” dengan benteng rahasianya (Sademan dan secara sembunyi-sembunyi, sekarang menjadi nama kampung “Sademan” desa Klidang Lor. Terus meliputi daerah-daerah sekitar : Sambong, Kedung Cina, Kedung Ringin (di Kecamatan Batang) Jung Biru dan seputar wilayah gunung Tugel (Kecamatan Wonotunggal) kekuasaan Drubikso.
Kekuasaan Drubikso beakhir, akhirnya Drubikso bisa dikalahkan oleh jaka Bau (Bhaurekso) dengan dibantu oleh pasukan Mataram, Subah, Gringsing dan kawan-kawan seperjuangan yang lain. Sehingga akhirnya perahu-perahu dari daratan Cina tersebut, kini hanya tinggal kenangan sejarah, tidak mengakui lagi Ujung Negoro seperti apa yang terjadi pada jaman dahulu.

ASAL MULA DESA KLIDANG

Dalam pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, menyuruh Raden Bhahu untuk menebang hutan. Guna dijadikan pemukiman. Antara Subah sampai Pekalongan.
Pada saat melaksankan tugasnya untuk menebang hutan, Raden Bhahu (Bhahurekso) berjalan menyusuri sungai, sampai suatu saat beliau tertidur di pinggir sungai karena kelelahan. Pada keesokan harinya air sungai tiba-tiba pasang, beliaupun terbangun dan segera bangun ke tempat yang lebih tingi. Tetapi setelah sampai di dataran yang lebih tinggi, beliau terkejut ketika akan melanjutkan tugasnya untuk menebang hutan, ketika itu pedang yang biasa dibawanya itu hilang. Kemudian beliau mencarinya di pinggir sungai yang waktu itu untuk beristirahat.
Sehari, berhari-hari dan berminggu-minggu sampai hampir satu bulan Raden Bahu mencari pedangnya, tapi pencarian itu sama sekali tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Akhirnya beliau memutuskan untuk menghentikan pencariannya, karena masih banyak tugas yang menanti di pundaknya, sebelum Raden Bahu pergi, beliau memberi nama daerah di sekitar sungai itu dengan sebutan KLIDANG yang berasal dari sebutan kata ( Kali ) dalam bahasa Indonesia yang artinya sungai dan ( Pedang ). Daerah ini berada di sebelah Utara di Kabupaten Batang.

LEGENDA DUKUH ROWOSUKO
(Dukuh Rowosuko, Desa Rowobelang, Kec. Batang, Kab. Batang)

Pada jaman dahulu, dukuh Rowosuko adalah sebuah tempat yang belum dihuni oleh manusia dan ditumbuhi rerumputan liar serta pohon-pohon besar.
Konon Dukuh Rowosuko ditemukan oleh Eyang Surgi. Eyang Surgi adalah seorang Kyai yang berkelana dan menemukan tempat itu. Eyang Surgi membersihkan rerumputan liar dan menebang sebagian pohon untuk dijadikan rumah atau tempat peristirahatan. Kegiatan sehari-hari eyang Surgi adalah bercocok tanam, mengubah lahan yang ditumbuhi rumput liar menjadi kebun dan sawah.
Selang beberapa lama tersiar kabar bahwa ada seorang Kyai yang menghuni dusun kecil yang makmur. Kemudian orang-orang berdatanagn untuk mencari ilmu dan meminta perlindungan kepada Eyang Surgi. Orang-orang pendatang membuat rumah dan menjadikan lahan-lahan kosong untuk bercocok tanam. Eyang Surgi dijadikan sebagai pemuka di dusun itu. Orang-orang patuh dan taat pada ajaran Eyang Surgi. Namun, dusun kecil itu belum diberi nama, yang kemudian oleh Eyang Surgi diberi nama Rowosuko.
Konon diberi nama Rowosuko itu karena di sawah milik Eyang Surgi terdapat pohoh besar yang bernama pohon Soko. Pada suatu hari ada hujan dan badai sehingga menumbangkan pohon Soko tersebut. Pohon Soko itu tumbang ke sawah milik eyang Surgi. Karena pohon Soko yang sangat besar itu tidak ada seorangpun yang mampu mengambil batang kayunya.
Lambat laun batang kayu soko itu lapuk di sawah milik Eyang Surgi. Kemudian daerah itu diberi nama Rowosoko, dari kata Rowo yang berarti sawah dan soko yang berarti pohon soko. Karena perkembangan jamankata Rowosoko diucapkan Rowosuko. Dan pohon Soko itu telah punah. Karena jumlah pohon Soko yang sedikit, kemudian di tebang untuk dijadikan rumah dan kayu bakar. Sehingga pada saat ini tidak ditemukan pohon soko di daerah Rowosuko.
Dusun Rowosuko adalah dusun kecil sehingga menyatu dengan dusun Krengseng dan Rowobelang membentuk satu desa. Karena kelurahannya ada di Rowobelang sehingga di sebut desa Rowobelang.
Bukti adanya Eyang Surgi sebagai penemu dukuh Rowo Suko adalah makam Eyang Surgi yang berada di pemakaman dukuh Rowosuko yang terletak di Rowosuko Kulon.
Menurut adat setempat setiap bulan Dzulkaidah atau legeno, warga desa mengadakan sedekah bumi dan harus diiringi dengan tontonan wayang kulit. Menurut kepercayaan masyarakat, tontonan wayang kulit tersebut untuk menghormati arah Eyang Surgi. Adat istiadat tersebut telah dilakukan turun temurun, hingga saat ini adat istiadat tersebut masih dilkukan oleh warga setempat. 

Selasa, 06 Desember 2011

UNTUK anggota MGMP Sejarah SMA Kab Batang

Dimohon untuk sudi mengirim karya foto, hasil pengamatan dan penelitian tentang sejarah dan kesejarahan.Karya dalam bentuk softc kopi dan kirimke Bapak Nurrokhim,S.Pd. SMA Negeri 2 atau kirim ke email MGMP : mgmpsejarahsma@gmail.com

Senin, 05 Desember 2011

Kegiatan kami

Minggu, 29 Maret 2009

Kegiatan MGMP Sejarah SMA

Dalam rangka melaksanakan program kerjanya MGMP Sejarah SMA Kabupaten Batang mengadakan kunjungan ke obyek sejarah local di wilayah kabupaten Batang antara lain Patung Gajah di Desa Brokoh Kecamatan Wonotunggal, Prasasti Kepokoh di Kecamatan Blado, Prasasti Sojomerto di Kecamatan Reban dan Patung Ganesa di Rejosari Kecamatan Tersono.
Kunjungan ini dimaksudkan untuk menambah wawasan guru sejarah tentang sejarah local Batang yang dapat digunakan untuk menambah materi pada mata pelajaran sejarah kelas X SMA untuk bahasan Peninggalan sejarah dan monument di daerah sekitar.
Ternyata, belum semua guru sejarah pernah berkunjung di situs sejarah ini.
Kunjungan dipandu oleh sejarawan Batang Bapak Mulyono Yahman,S.Pd. yang menerangkan secara mendetail baik sejarah penemuan ,perkiraan pembuatan ataupun corak keagamaan yang ada pada tinggalan sejarah tersebut.Ternyata Batang menyimpan banyak peninggalan arkeologis klasik Hindu.
Acara ini sangat bermanfaat bagi para guru,bahkan beberapa guru menghendaki acara digelsr setiap semester sekali termasuk obyek di sekitar Batang Baik di Kabupaten Pekalongan, maupun daerah Kompleks Candi dieng di Wonosobo dan Banjar Negara.
Kegiatan sehari yang berguna ini berlangsung dari pukul 08.00 sampai dengan 16.00 berjalan dengan lancar dikawal oleh Ketua MGMP Bambang Indriyanto,S.Pd, Nurrokhim,S.Pd. selaku Sekretaris dan Dra Prasasti selaku Bendahara MGMP Sejarah SMA Kabupaten Batang.Adapun pesertanya adalah guru sejarah SMA Negeri dan Swasta Se Kabupaten Batang.

Jumat, 02 Desember 2011

SUSUNAN PENGURUSAN
MUSYAWARAH GURU MATA PELAJARAN SEJARAH
KABUPATEN BATANG
TAHUN 2008 - 20011
Ketua : Bambang Indriyanto, S.Pd. (SMA Negeri 1 Batang)
Sekretaris : Nurrochim, S.Pd. (SMA Negeri 2 Batang)
Bendahara : Dra. Prasasti Etnaningrum. (SMA Negeri 1 Subah)
Anggota :
1. Budiyono, S.Pd. (SMA Negeri 1 Subah)
2. Dra. Dwi Kusrini. (SMA Negeri 1 Bandar)
3. Hernomo Budi P, S.Pd (SMA Negeri 1 Bandar)
4. Umi Adiati, S.Pd (SMA Negeri 1 Batang)
5. Sulistyantini, S.Pd (SMA Negeri 1 Bawang)
6. Muh. Ikhsan, S.S (SMA Negeri 1 Gringsing)
7. Anita Hari P, S.Pd (SMA Islam A. Yani Batang)
8. Hj. Isah (SMA Bhakti Praja Limpung)
9. Sri Susilowati, S.Pd (SMA Negeri 1 Bandar)
10. Drs. Samsudi (SMA Negeri 1 Bawang)
11. Restu, S.Pd (SMA Bhakti Praja Limpung)
12. Drs. Wardi (SMA Muh Tersono)
Batang, Maret 2008
Mengetahui,
Ketua MGMP Sejarah
Kabupaten Batang



Bambang Indriyanto, S.Pd

Peristiwa 3 Oktober 1945 di Pekalongan

Peristiwa 3 Oktober 1945 di Pekalongan

Peninggalan Sejarah :
Peristiwa 3 Oktober 1945 di Pekalongan

Peninggalan sejarah merupakan benda-benda budaya manusia dari masa yang telah lampau. Peninggalan-peninggalan manusia ini dapat berwujud beraneka macam dan sesuai dengan kenginan dan kebutuhan manusia yang hidup pada kurun waktu itu. Peninggalan sejarah seperti bangunan, peralatan, perhiasan, dan lain-lain. Peninggalan-peninggalan sejarah yang dikenal dalam masyarakat Indonesia dalam bentuk bangunan di antaranya punden berundak-undak ( dari Jaman pra sejarah) ,candi (dari Jaman Hindu-Buddha), istana (keraton), masjid (masa Islam), makam Islam ( masa Islam ) dan lain-lain. Ada juga peninggalan sejarah yang berupa peralatan kerja seperti kapa batu ( Jaman prasejarah ), keris, tombak, dari logam (dari Jaman Hindu dan Islam) dan lain-lain. Peninggalan sejarah yang berupa perhiasan sangat beragam dan bahan dasar yang dimanfaatkannya bisa berasal dari tembaga, perunggu, kuningan, perak maupun emas.
Monumen peringatan adalah sebuah bangunan tugu yang dibangun sebagai tanda bahwa di tempat itu atau di daerah itu telah atau pernah terjadi suatu peristiwa besar. Pendirian monumen itu bertujuan untuk mengenang peristiwa yang telah terjadi pada tempat atau daerah tersebut. Juga dimanfaatkan sebagai tanda untuk menyampaikan pesan kepada generasi penerus bangsa yang tidak pernah mengalami peristiwa seperti itu.
Wilayah Indonesia banyak terdapat monumen-monumen peringatan sebagai tanda bahwa pada daerah tersebut telah terjadi peristiwa bersejarah, seperti monumen Pancasila Sakti lubang Buaya di Jakarta, Monumen Trikora di Makasar, Monumen Sepuluh Nopember di Surabaya, Tugu Muda di Semarang dan lain-lain.
Sebagai contoh monumen peringatan bersejarah yang ada di sekitar kita adalah Monumen Tiga Oktober yang ada di Pekalongan (di depan masjid Syuhada, THR). Monumen tersebut mengingatkan kita akan perjuangan masyarakat Pekalongan dan sekitarnya dalam revolusi kemerdekaan di tingkat lokal.
Sejarah singkat sekitar Pristiwa 3 Oktober 1945 di Pekalongan
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia , PPKI bersidang tanggal 18 Agustus 1945, yang menetapkan :
1. Mengesahkan dan menetapkan UndangUndang Dasar Republik Indonesia yang kemudian lebih dikenal sebagai Undang Undang Dasar 1945.
2. Memilih Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
3. Sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, pekerjaan presiden un- tuk sementara waktu dibantu dibantu oleh Komite Nasional.
Pengisian alat kelengkapan negara ini dilanjutkan dengan sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 yang menghasilkan keputusan membentuk (1). Komite Nasional (2). Partai Nasional Indonesia (3). Badan Keamanan Rakyat.
Berdasarkan hasil sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 tentang pembentukan Komite Nasional, maka di Jakarta dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat atau yang disebut KNIP yang diresmikan pada tanggal 29 Agustus 1945 dengan ketuanya Mr Kasman Singodimejo dan anggotanya sebanyak 60 orang. Komite Nasional ini dimaksudkan sebagai penjelmaan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia yang menye- lenggarakan kemerdekaan Indonesia dan berlandaskan kedaulatan rakyat.
Pembentukan KNI di daerah tentu saja tidak sebaik di tingkat pusat, namun se- mangat pembentukan KNID inilah yang perlu dibanggakan, sebagai pelaksanaan dik- tum proklamasi, yaitu hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan akan dilaksanakan dengan cara yang seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Maka seperti halnya di daerah lain di Indonesia, di Karesidenan Pekalonganpun di bentuk Komite Nasional Indonesia..
Atas instruksi dari Sarmidi Mangunsarkoro, tiap daerah agar segera membentuk Komite Nasional Indonesia untuk membantu Kepala Daerah. Di Karesidenan Pekalongan dibentuk Komite Nasional Indonesia dengan badan pekerjanya, sebagai Badan Eksekutip untuk membantu Kepala Daerah. Adapun tokoh pendirinya antara lain Dr. Sumbadji; Sarpan; Djohar Arifin; K.H. Iljas; Kromo Lawi; Kadir Bakri; Dr. Ma’as; H. Siroj dan Hasan Ismail.( Yayasan Resimen XVII, 1983 : 12 ).Komite Nasional Indonesia untuk karesidenan Pekalongan terbentuk tanggal 28 Agustus 1945, dengan susunan anggota Badan Eksekutipnya adalah Dr. Sumbadji sebagai Ketua, Wakil Ketua Dr. Ma’as, Sekretaris S. Wignyo Suparto, sedangkan anggotanya R. Suprapto; Kromo Lawi; A. Kadir Bakri; K.H. Moch Iljas; dan Jauhar Arifin.
Residen Pekalongan waktu itu dijabat oleh Mr. Besar. Pemerintah pusat biasanya mengangkat Fuku Syuchokan ( Wakil Residen ) sebagai Residen dalam pemerintahan Republik Indonesia.Jabatan residen ini merupakan jabatan fungsionaris tertinggi yang semula hanya dipegang oleh orang Jepang saja. Pengangkatan Mr Besar sebagai Residen pada tanggal 18 September 1945, oleh Presiden Soekarno ( A.H. Nasution, 1977 : 366 ). KNI Daerah Karesidenan Pekalongan mengusulkan agar Mr Besar diangkat sebagai Residen Pekalongan kepada Presiden Soekarno tanggal 12 September 1945, dan oleh AG Pringgodigdo menjawab resmi usulan KNI Pekalongan ini tanggal 21 September 1945 bahwa Mr Besar secara resmi diangkat sebagai Residen Pekalongan..Pengangkatan Mr Besar sebagai Residen Pekalongan ini terlambat sampai tanggal 23 September 1945, sehingga Mr Besar belum secara resmi mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Empat hari kemudian Jepang secara resmi menyerahkan kekuasaan kepada Mr Besar sebagai Residen Republik secara resmi. ( Lucas, 1989 : 99 ).
Usaha KNI setelah terbentuknya lembaga ini tanggal 28 Agustus 1945, adalah mengambilalih kekuasaan pemerintahan sipil dan militer dari tangan Jepang. Mr Besar sendiri pernah membicarakan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan setelah kemerdekaan dengan beberapa tokoh seperti A. Bustomi dan Dr. Ma’as. Di dalam kontak dengan Mr Besar, Dr.Ma’as bertanya tentang bagaimana sebaiknya sikap kita setelah proklamasi ? Gerakan pengambilalihan kekuasaan di beberapa daerah sudah dimulai.Bahkan di Purwokerto Tentara Jepang menyerahkan kekuasa- annya kepada Mr. Ishak Tjokroadisuryo, Residen Banyumas.
KNI Pekalongan pada bulan September 1945 sudah mulai menghubungi Syuchokan Pekalongan, yaitu Tokonami untuk mengikuti Tentara Jepang di Purwokerto menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Indonesia.Namun sebagai bawahan dari Keibutai atau Komandan Garnisun di Purwokerto, Tokonomi sendiri masih ragu-ragu dan harus berkonsultasi dahulu dengan pihak Keibutai karena wilayah Pekalongan, Purwokerto dan Cirebon merupakan bawahan Kei butai Purwokerto.
Dr. Sumbadji, Sebagai ketua KNI Daerah Pekalongan melontarkan gagasan agar di Pekalongan dibentuk Badan Kontak untuk menyatukan berbagai aliran politik di masyarakat. Tujuannya menaEmpung aspirasi rakyat, agar segala tindakan bisa manunggal dan terkoordinir. Gagasan ini menarik, karena akan mengajak masyarakat berpartisipasi dalam memecahkan masalah-masalah yang sedang dihadapi, yakni pengambilalihan kekuasaan.Sebab partai politik sejak masa pendudukan Jepang di Indonesia memang sudah dilarang. Pada saat itu partai politikpun belum muncul. Partai politik mulai berkembang di Republik Indonesia yang baru berdiri ini sejak tanggal 3 November 1945. Dasarnya adalah keluarnya Maklumat Pemerintah
3 November 1945 tentang pembentukan partai-partai politik. Setelah dikonsultasikan kepada Mr Besar, gagasan membentuk Badan Kontak ini akhirnya tidak dilaksanakan karena menurut Mr Besar semua aliran politik yang ada di masyarakat sudah tertampung di dalam KNI sehingga kontak dan koordinasi diserahkan kepada Badan Eksekutip KNI , selain itu supaya tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak Jepang.
Sebetulnya di Pekalongan ada 3 kekuatan moral yang mendukung pengambilalihan kekuasaan ini, yakni kelompok KNI yang dipimpin Dr. Sumbadji; kelompok BPKKP yang dipimpin oleh Dr. Ma’as dan kelompok Angkatan Muda yang dipimpin oleh Mumpuni dan Margono Jenggot. Ketiga kelompok inilah yang dikoordinir oleh KNI mulai aktip mengadakan pendekatan dengan pihak Jepang.
Tiga kelompok yakni BPKKP, KNI dan angkatan muda, selalu selalu berunding di kantor BPKKP. Pertemuan ini merupakan kegiatan rutin dari tokoh-tokoh masyarakat Pekalongan.Mereka selalu kordinasi dalam mengambil langkah-langkah dan selalu menunggu perkembangan yang akan terjadi dengan sikap kematangan dan menjaga persatuan, sehingga arah perjuangan jelas dan tidak menyimpang dari rel perjuangan yang telah disepakati bersama. Di dalam pertemuan ini akhirnya disepakati bahwa pelaksanaan pengambilalihan kekuasaan dilakukan dengan cara diplomasi atau perundingan dengan pihak Jepang.Dr. Sumbadji dan Dr. Ma’as menjadi utusan untuk menghadap Syuchokan Tokonami agar menentukan kapan dan di- manakah akan diadakan perundingan dengan tokoh-tokoh masyarakat.
Akibat situasi yang memanas di Pekalongan, dan agar tidak terjadi insiden yang tidak diinginkan,akhirnya pihak Jepang mau berunding dengan pihak Tokoh masyarakat di Pekalongan. Perundingan akan dilaksanakan tanggal 1 Oktober 1945 pukul 10.00 bertempat di kantor Karesidenan Pekalongan atau kantor Syucho.Namun karena situasi yang kurang menguntungkan di Semarang, akhirnya pihak Jepang menunda perundingan dengan Tokoh masyarakat Pekalongan. Usul perundingan ini dibahas di rumah Mr Besar oleh kelompok masyarakat Pekalongan, dan akhirnya ditentukan:
Perundingan di tetapkan tanggal 3 Oktober 1945 pukul 10.00 pagi di markas Kempeitai; Para delegasi Indonesia terdiri dari Mr. Besar dan anggota Eksekutip KNI; Ketua delegasi ditetapkan Dr. Sumbadji; Sedangkan tuntuan dari pihak Indonesia terdiri dari tiga pasal yaitu (1). Pemindahan kekuasaan pemerintahan dari Jepang kepada pihak Indonesia dilaksanakan dengan damai dan secepatannya. (2). Diserahkan semua senjata yang ada ditangan Jepang, baik yang ada di Kempeitai, Keibitei, maupun yang ditangan Jepang Sakura kepada pihak Indonesia. (3). Memberi jaminan pada pihak Jepang bahwa mereka akan dilindungi, diperlakukan diperlakukan dengan baik dan dikuEmpulkan menjadi satu di markas keibitei ( sekarang kantor Pemda Kodya Pekalongan ) sampai dan termasuk Societeit Delectatio dan Handelsbank ( Oetoyo, 1983 : 2 ).
Apa yang telah dilakukan pihak KNI yang selalu kerjasama dengan pihak lain seperti para pemuda dan BPKKP menunjukan adanya sikap persatuan diantara kelompok kekuatan di Pekalongan. Hal ini menunjukkan bahwa keutuhan pendapat dan kelompok akan berarti bagi setiap perjuangan. Kekompakan inilah yang akhirnya membawa hasil dengan jatuhnya kekuasaan Jepang kepada masyarakat Pekalongan, meskipun dengan tebusan mahal, yakni 37 orang gugur dan 12 orang cacat dalam Peristiwa 3 Oktober 1945 di Pekalongan.
Pengunduran waktu perundingan yang semula akan dilaksanakan tanggal 1 Oktober 1945 menjadi 3 Oktober 1945 tidak menyebabkan melemahnya moral Tokoh-tokoh masyarakat Pekalongan, justru dianggap hal yang menguntungkan sekali. sebab dengan diundurnya perundingan dengan pihak Jepang, konsolidasi dari pihak Indonesia semakin mantap. Bahkan waktu inipun dimanfaatkan antuk membocorkan penundaan perundingan kepada masyarakat. Masyarakat diharapkan menyaksikan perundingan dengan pihak Jepang untuk memberi semangat kepada pihak Indonesia dan menurunkan moral pihak Jepang yang sudah jatuh akibat kekalahan dalam Perang Asia Timur Raya melawan sekutu. Dukungan masyarakat inilah yang mencer minkan manifestasi rasa kebanggaan dan patriotismenya dengan mendatangi tempat perundingan, yaitu Markas Kempeitai yang selama ini dianggap sebagai lambang kekejaman pendudukan Jepang di Indonesia. Masyarakat akhirnya berbondong-bondong menyaksikan wakil-wakil mereka berunding denga pihak Kempeitai tanggal 3 Oktober 1945.
Tanggal 3 Oktober 1945, masyarakat Pekalongan pada pagi hari sudah banyak yang berkuEmpul di sekitar Markas Kempeitai, di Lapangan Kebon Rojo, baik tua maupun muda, laki-laki maupun perEmpuan. Mereka tidak hanya datang dari dalam kota saja, namun dari luar kota Pekalongan seperti daerah Buaran dan Comal. Mereka memakai pakaian tEmpur, dengan bersenjata seadanya seperti bambu runcing, parang, kayu serta potongan besi dan lain-lainnya. Merah Putih dipakai sebagai lencana dan ikat kepala. Mereka semakin banyak berdatangan di lokasi perundingan hingga pukul 09.30. Mereka ingin melihat keberhasilan wakil mereka dalam perundingan dengan Jepang.
Pukul 09.45 Delegasi Indonesia dengan berjalan kaki dari rumah Mr.Besar menuju Markas Kempeitai. Mereka dielu-elukan masa dengan teriakan “ Hidup Repu blik Indonesia, jangan mundur dari tuntutan; hidup wakil-wakil rakyat Pekalongan “. Rombongan diantar sampai ke pintu gerbang Markas Kempeitai dengan sorakan dan teriakan massa “ Jangan mau tawar, jangan mundur dari tuntutan , berhasillah kami menunggu; kami tidak akan bubar sebelum bapak-bapak kembali; kembalilah dengan selamat ‘.
Sementara pada hari itu juga 15 orang dari kelompok Jepang Sakura disandera para pemuda dan mereka dimasukkan di salah satu ruangan kantor Syucho Pekalongan. Ancaman para pemuda yang menyekap orang Jepang tersebut , adalah akan membunuh mereka bila perundingan gagal.
Salah satu Tokoh masyarakat, yaitu Ulama KH Syafi’i turut menggerakkan massanya memberikan dorongan moral bagi delegasi Indonesia . Pada kerumunan massa ini tampak polisi Indonesia seperti Suwarno, Sunaryo, Hugeng, Utaryo, A. Bustomi dan lain-lainnya.
Tepat pukul 10.00 pagi perundingan dimulai. Meja perundingan diatur leter U Pihak Jepang duduk dalam satu baris menghadap ke barat, terdiri dari (1). Tokonomi ( Syuchokan ); (2).Kawabata ( Kempeitaidan ); (3). Hayashi ( Staf Kempeitai ); (4). Harizumi ( Penterjemah ). Sedangkan dari pihak Indonesia tersusun dalam dua baris terdiri dari baris utara dan baris selatan. Deret sebelah utara berturut-turut (1). Mr. Besar; (2). Dr. Sumbadji; (3). Dr. Ma’as. Adapun deretan sebelah selatan berturut-turut (1). R. Suprapto; (2). A. Kadir Bakri; (3). Jauhar Arifin.
Anggota eksekutip KNI yaitu Kromo Lawi dan Kyai Moch Iljas, sampai perundingan dimulai tidak hadir. Menurut M. Syaichu dalam tulisannya yang berjudul Seki las Perjalanan Hidupku, mengatakan bahwa ketidak hadiran dua tokoh KNI ini karena sesuatu dan keperluan lain. Hasil wawancara penulis dengan Bapak Setyadi Lawi, pu- tera Bapak Kromo Lawi , mengatakan bahwa Bapak Kromo Lawi, salah satu tokoh pergerakan nasional di Pekalongan yang disegani, memang tidak hadir tetapi tidak pernah menjelaskan mengapa bapak tidak hadir waktu itu.Sementara menurut Anton E lucas , Karena kedekatannya dengan Jepang, sebagai ketua PUTERA, seksi perdagangan Hokokkai, Kromo Lawi tidak disenangi oleh Pangreh Praja. Ketika bentrokan dengan Jepang pada awal Oktober , pemuda menangkap Kromo Lawi dengan tuduhan agen subversif kempeitai.( lucas, 1969 : 95 ).
Mr. Besar membuka perundingan dengan terlebih dahulu memperkenalkan dele- gasi Indonesia, dilanjutkan mengemukakan maksud dan tujuan mengadakan perun- dingan dengan pihak Jepang. Pihak Jepang menyambut dengan pertanyaan mengapa pihak Indonesia datang dengan membawa massa yang banyak ? karena hal ini akan menimbulkan kejadian yang tidak diinginkan.
Dr. Sumbadji selaku ketua delegasi menyatakan perlunya tindak lanjut setelah adanya proklamasi kemerdekaan, yakni terlaksananya pemindahan kekuasaan pe- merintah dari tangan Jepang kepada pihak Indonesia dengan damai, serta disam- paikan tuntutan tiga pasal dengan harapan jangan sampai terjadi insiden yang dapat mengorbankan rakyat banyak.
Adapun tuntutan tiga pasal tersebut adalah: (1). Pemindahan kekuasaan dilaksanakan dengan damai dan secepatnya; (2). Penyerahan senjata dari tangan Jepang adalah semua senjata yang ada ditangan Jepang baik yang ada di Kempeitai, Keibitei, maupun Jepang Sakura kepada pihak Indonesia; (3). Memberikan jaminan pada pihak Jepang bahwa, mereka akan dilindungi, diperlakukan dengan baik, dan dikuEmpulkan menjadi satu di Markas Keibitei. ( DHC Angkatan ’45 Pekalongan, 1983 : 7-8 ).
Tokonomi menjawab bahwa, Pemerintah Bala Tentara Nippon sudah mendengar proklamasi yang dibacakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, namun di daerah ini pemerintah Dai Nippon tidak bisa menerima ke- inginan pihak Indonesia karena pihaknya masih berkewajiban menjaga status quo yang ada demi kepentingan, keamanan, dan ketentraman rakyat.Pihak Jepang mema- hami tuntutan dari pihak Indonesia, tetapi pihaknya terikat dengan Sekutu bahwa sebelum ada instruksi dari Dai Nippon di Jakarta, pihaknya masih bertanggungjawab untuk mempertahankan status quo. Kemudian Dr. Ma’as angkat bicara, bahwa sebenarnya tentang pemindahan kekuasaan sudah tiada persoalan lagi.Karena Jendral Terauchi telah berjanji waktu bertemu Bung Karno di Dalat akan memerdekakan Indonesia. Bukankah sekarang sudah tepat pada waktunya ?
Seorang Kempeitai melaporkan bahwa, ada wakil pemuda yang akan bertemu dengan Dr. Sumbadji. Setelah diijinkan, Mumpuni dan Margono berbicara langsung dengan Dr. Sumbadji dengan nada keras:”Sudahkah perundingan selesai ? jangan terlalu lama rakyat tidak sabar menunggu”.
Sesudah dua jam menunggu hasil perundingan antara Residen Besar dan Kempeitei, mereka itu tidak sabar lagi. Mr Besar terpaksa keluar untuk men jelaskan kompromi yang telah tercapai; Kempeitei akan menghentikan aksi-ak si keliling kota dan menyerahkan sejumlah senjata kepada polisi kota, supaya jumlah senjata polisi sama dengan yang dimiliki Kempeitei. Senjata ini harus di simpan di societeit, sedangkan kuncinya yang satu dipegang oleh Residen Besar dan lainnya dipegang oleh Komandan Kempeitei. Ini berarti pemuda tidak dapat mengeluarkan senjata tanpa seizin kedua penguasa itu. ( Lucas, 1989 : 124-125 )
Ketika penterjemah sedang menterjemahkan pembicaraan Dr. Sumbadji, sekonyong-konyong terdengar letusan senjata dari luar. Keadaan menjadi sunyi . Terdengar teriakan serbu ! dari luar. Letusan ini tidak diketahui dari pihak mana yang memulai.Suasana berubah menjadi kacau.
… sampai sekarang kita belum mengetahui dengan pasti letusan senjata itu dari pihak siapa. ? Apakah itu dari pihak Kempeitai ? Kita kurang mengetahui. Akibat selanjutnya terjadi tembak-menembak antara massa di luar gedung dan pihak kempeitai, juga markas kempeitai dikepung rapat oleh rakyat. ( Yayasan Resimen XVII, 1983 : 18 )
Dalam tulisannya yang berjudul Peristiwa Perebutan Kekuasaan Pemerintah dari Pemerintah Penjajahan Jepang di Pekalongan, DHC Angkatan ’45 melukiskan sebagai berikut :Selagi perundingan sedang berjalan, terdengarlah ledakan senjata api, yang tidak jelas dari mana datangnya. Perundingan menjadi bubar tidak membawa hasil. Letusan api yang tidak jelas itu, disusul rentetan bunyi metraliur.
Mr.Besar beserta pengurus KNI menyelamatkan diri, meninggalkan meja perundingan dan melalui tembok samping kanan markas kempeitai menerobos masuk ke ruang kantor karesidenan . ( Yayasan Resimen XVII, 1983 : 94 ).
Pemuda Rahayu dan Bismo dengan beraninya menancapkan bendera merah putih di atas atap markas kempeitai, dalam rangka mengobarkan semangat rakyat ketika terjadi peristiwa perlawanan rakyat terhadap Jepang, ketika perundingan belum selesai dan Kempeitai menembaki massa di depan markas. Mereka naik ke atas atap tanpa komando dan tanpa memikirkan bahaya menimpanya. Mereka bertindak secara spontan.
Dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan I, A.H. Nasution menuliskan sebagai berikut :
Rupanya Jepang sudah membuat siasat. Dari dalam gedung mereka melepaskan tembakan dengan senapan mesin, sehingga rakyat kacau balau dan korban-korban berjatuhan. Akan tetapi rakyat tidak mau mengalah begitu saja. Seorang pemuda dari barisan kereta api naik ke atas gedung untuk mengibarkan sang merah putih. Ia ditembak jatuh, akan tetapi tetap memegang bendera sampai ajalnya. ( A.H. Nasution, 1977 : 367 ).
Saksi sejarah yang bernama bapak Azis Basyarachil mengatakan pada penulis, ketika peristiwa 3 Oktober 1945 , beliau masih menjadi pelajar SMP, dan menceriterakan peristiwa ini antara lain ketika peristiwa ini terjadi, beliau melihat suasana di sekitar Markas Kempeitai, Kantor Karesidenan serta daerah Kebon Rojo yang dipadati manusia yang akan menuntut senjata dari Jepang. Sebetulnya di markas kempetei tidak ada senjata, karena senjata disimpan di tempat lain.Mereka heran kenapa Jepang tidak mau menyerahkan senjatanya kepada pihak Republik, padahal Indonesia sudah merdeka.Menurut bapak Azis kenapa pula di Markas Kempeitai masih menaikan bendera Jepang ? hal inilah yang akhirnya mendorong Rahayu, untuk mengibarkan merah putih di atas atap Markas Kempeitai.
Yang pertama kali menembak dengan senapan pistol adalah Jepang, disusul dengan tembakan senapan mesin oleh Jepang terhadap massa terutama yang berada di sekitar halaman markas kempeitai. Menurut bapak Azis , betapa terkejutnya beliau ketika Jepang meletakkan metraliur yang berarti Jepang akan membuat gara-gara. dan betul, tembakan pistol, adalah pertanda bagi Jepang untuk segera melancarkan penembakan kepada rakyat.Jepanglah yang mulai melakukan penembakan. Mana mungkin rakyat Indonesia waktu itu bersenjata api. Peta di Pekalonganpun dibubarkan Jepang sebelum peristiwa ini terjadi. Kalau ada polisi bersenjata, dan siap di atas pagar, ternyata tidak menembak kepada Jepang sebagai balasan atas perlakuan Jepang karena senjata mereka tidak berpeluru.Memang rakyat Pekalongan datang ke Sekitar Markas Kempeitai dalam sikap siap tempur, dengan senjata seadanya. Bapak Azis sendiri waktu itu membawa bambu runcing, namun akhirnya terbuang karena terjadinya kekacauan tersebut. ( wawancara dengan Bapak Azis Basyarachil ).
Delegasi Jepang segera meninggalkan sidang, kemudian masuk ke ruang kempeitai sehingga perundingan mengalami kegagalan dan diakhiri dengan korban yang berjatuhan.
Masyarakat yang di luar gedung yang mengepung rapat tempat perundingan, menjadi sasaran tembakan senapan mesin dari Kempeitai.Rakyat marah dan tanpa komando menyerbu markas, melalui pintu masuk, lewat memanjat tembok keliling gedung, menaiki atap gedung yang bertujuan menghancurkan dan merampas senjata dari Jepang.Rakyat banyak yang menjadi korban dalam peristiwa ini.Puluhan orang menggeletak di depan gedung berlumuran darah.Beberapa diantaranya pelajar,seperti Nugroho, Mujiono dan Murtono. Perlawanan yang tak seimbang berlangsung sekitar satu jam.( Lud, 1995 : 11 ).
Para korban umumnya yang memanjat tembok keliling Markas Kempeitai, dan yang menyerbu lewat pintu depan. Banyak penyerbu yang meninggalkan teman-te mannya untuk menyelamatkan diri.Korban yang terluka masih dapat diseret ke luar markas.Namun ada yang tergeletak dua hari di depan Markas Kempeitai.
Rasmadi menjadi korban penembakan Jepang dalam Peristiwa 3 Oktober 1945 sehingga menjadi cacat tetap, karena tertembak kakinya dan terbaring selama 3 hari di depan Markas Kempeitai. ( wawancara dengan Budi Suparno, Putera Rasmadi ).
Rakyat membubarkan diri untuk menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi bila pihak Jepang membalas dendam. Dari salah satu saksi sejarah yang penulis temui menuturkan sebagai berikut tentang peristiwa 3 Oktober 1945 antara lain …Bapak Muhardjo adalah anggota pemuda pegawai Pamong Praja Kota Pekalongan, yang menjadi salah satu saksi dalam pertempuran 3 Oktober 1945 di Pekalongan. Melihat sendiri betapa Jepang dengan kejam membantai rakyat Pekalongan. Mengenai Perundingan dengan Jepang KNID mulai berunding pukul 10.00, namun terjadinya tembakan pertama dan dilanjutkan penembakan dengan mitraliur Oleh Jepang terhadap massa.Seusai peristiwa 3 Oktober 1945 Bapak Muhardjo tidak berani pulang di Bendan, tetapi malamnya menginap di Pesindon. Pada pagi buta baru pulang, karena takut Jepang akan membalas dendam setelah peristiwa tersebut.
Penaikan bendera oleh Rahayu dan Bismo, merupakan simbol semangat nasionalisme yang berkobar dari jiwa muda yang masih idealis tanpa merasa adanya resiko yang bakal diterima. ( wawancara dengan Bapak Muhardjo ).
Sementara sandera Jepang yang di tangkap para pemuda dan dikuEmpulkan di ruang Syucho dibunuh tanpa kenal aEmpun Jumlah orang Jepang yang dibunuh tidak jelas, karena yang luka dan yang meninggal dibawa lari oleh Jepang. Diperkirakan korban dari pihak Jepang sebanyak 22 orang.Termasuk Hayashi, Kempeitai yang terkenal kejam.Hayashi ditembak oleh Sumantra.Beberapa pemuda yang ditawan Jepang sampai berakhirnya peristiwa ini adalah Suhardjo, Sudjono, Djoned, Kuswadi, Singgih, Suwarno, Sarino dan lain-lain. ( S. Prawiro, 1983 : 89 ).
Dalam hal ini ada kejadian yang menarik perhatian kita, yaitu adanya pengibaran bendera merah putih di atap markas kempeitai yang dilakukan oleh Rahayu dan Bismo. Insiden ini menarik perhatian penulis. Apa sesungguhnya yang mendorong timbulnya peristiwa bendera ini ? Keberanian Rahayu dan Bismo yang menurunkan bendera Jepang dan mengibarkan sang merah putih di atap markas kempeitai patut dicatat dalam sejarah di Pekalongan ini.
Setelah pertempuran yang tidak seimbang terjadi, rakyat akhirnya bubar, semen- tara korban bergelimpangan di sekitar Markas Kempeitai. Suasana menjadi sunyi, dan hanya ada beberapa anggota Kempeitai yang berjaga-jaga di luar dengan bayonet terhunus. (Oetoyo,1983:12)
Korban peristiwa berdarah ini bagi pihak Indonesia cukup banyak baik mereka yang gugur sebagai pahlawan bangsa maupun mereka yang cacat sebagai pembela negara.
Korban yang tergeletak di depan Markas Kempeitai ada yang masih hidup. Untuk menolong mereka akhirnya minta bantuan dari Embrio PMI yang di Pekalongan tokohnya DR. Sumakno, Dr. J. J Tupamahu, Dr.L S Lisapally, Dr. Sunarya Said dan Dr. sumbadji. Mereka inilah yang menolong korban pertempuran, setelah berunding dengan Kempeitai yang bertahan di markasnya. Barulah hari ketiga setelah pertempuran, mayat yang sudah mulai membusuk diangkat oleh sukarelawan yang berasal dari Rumah Sakit Kraton, dinas kesehatan dan eks EHBO ( EERSTE HULP BY ONBELUKKEN ) yaitu Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan,yang di bentuk pada jaman penjajahan Belanda. ( wawancara dengan Bapak Abdul Karnen ). Dan yang mengurus jenasah di Markas Kempeitai menurut hasil perundingan dengan pihak Jepang harus para wanita, atau dokter sendiri, supaya tidak menimbulkan kecurigaan Jepang. Sukarelawan PMI yaitu Hardinar Mulyadi, dan Mary Soemakno
( sekarang isteri Hugeng mantan KAPOLRI ).Menurut Mary Hugeng kenangan pada peristiwa ini dituturkan sebagai berikut:
…..Dr Tupamahu membawa bendera palang merah ukuran kecil yang biasanya untuk kendaraan. Enam orang dari kami berjalan lambat-lambat sambil berharap peneropong mereka melihat bendera kami.Ketika sampai di depan barikade, Dr Tupamahu menjelaskan bahwa kami dari palang merah dan akan mengambil siapapun yang terluka. Lalu kita mulai bekerja. Saya ingat tidak seorang pun dari pemuda itu yang mempunyai senjata kecuali bambu runcing. Mereka itu masih hidup (setelah pertempuran) walau perutnya kena tusuk, kadang-kadang dua orang direnteng dalam satu tusukan bambu, seperti sate, sungguh mengerikan ! Mereka semua ditembak dadanya dengan senapan mesin. Tiba-tiba salah satu mayat itu berkata, “ Tolonglah saya. “ Ka kinya telah ditembak dan telah terkapar sepanjang siang hari di bawah terik matahari. Ia berkata, “ Saya sudah mati seandainya hujan tidak turun semalam. “ Kami segera membawanya ke Rumah Sakit dan diperbolehkan mengambil semua mayat manfaat identifikasi. Salah seorang saudara puteri saya jatuh pingsan begitu tiba di rumah sakit. ( Lucas, 1989 : 126 ).
Jenasah disemayamkan di Rumah Sakit Kraton dan dimakamkan di daerah Panjang, pada tanggal 6 Oktober 1945 sekitar pukul 4 sore. Tempat pemakaman ini sekarang diberi nama Taman Makam Pahlawan Rekso Negoro.Kadang kala pihak keluarga korban tidak tahu dimanakah makam keluarganya di Taman Makam Pahla- wan itu. Penuturan Ibu Martono, puteri Bapak Rifai yang menjadi korban penem- bakan oleh Kempeitai mengatakan bahwa sampai sekarang tidak tahu yang mana makam ayahnya itu. ( Wawancara dengan ibu Martono ).
Beberapa pendapat mengenai jumlah korban yang dihiEmpun penulis adalah :
1. Menurut buku Pengabdian Resimen XVII Kepada Bangsa Dan Negara, mencatat korban meninggal 35 orang dan mereka tergeletak selama dua hari dihalaman gedung Kempeitai.
2. Menurut catatan DHC Angkatan ’45 Pekalongan yang berjudul Perjuangan Pemuda Pekalongan Mengusir Jepang 3 Oktober 1945, menuliskan pahlawan yang gugur 36 orang , seorang meninggal di depan kantor Kempeitei.
3. M. Syaichu dalam bukunya yang berjudul Sekilas Perjalanan Hidupku, melaporkan bahwa korban di pihak pejuang 32 orang, tetapi ada yang mencatat 37 orang, sedang menderita cacat sebanyak 12 orang.
4. Dalam buku Pekalongan Kota Batik yang diterbitkan Pemda Dati II Kotamadya
Pekalongan mencatat 35 orang meninggal dan 12 orang cacat.
5. Paguyuban Keluarga Pahlawan 3 Oktober 1945 di Pekalongan, mencatat ada
37 orang yang meninggal dan 12 orang yang mengalami cacat tetap.( lihat lampiran
IV tentang daftar Pahlawan 3 Oktober 1945 di Pekalongan ).
Jumlah korban ini belum semuanya diinventarisasikan, karena bisa jadi jumlah mereka lebih banyak lagi.Karena ada pula yang terluka dan beberapa hari kemudian meninggal. Ada juga yang tidak melaporkan keluarganya yang menjadi korban pada peristiwa ini. Namun nama pahlawan yang resmi tercatat di dalam Paguyuban Keluarga Pahlawan 3 Oktober 1945 jumlahnya seperti yang telah disebutkan di atas.
Kelompok delegasi dan pemuda berusaha menyelesaikan masalah dengan sangat hati-hati.Sebab mereka khawatir bila pihak Kempeitai membalas dendam terhadap masyarakat Pekalongan pada malam harinya.
Suasana di kota Pekalongan selama 3 hari sangat mencekam. Para pemuda mematikan aliran listrik dan telepon serta air minum ke markas kempeitei.Masyarakat berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Usaha penyelamatan rakyat terus dilakukan dengan menunjuk H. Iskandar Idris, eks Daidancho Peta untuk menghubungi Butaicho di Purwokerto serta melaporkan situasi di Pekalongan. Usaha mencari bantuan ke Purwokerto dilakukan karena usaha menghubungi Semarang mengalami kesulitan. B Suprapto sulit dihubungi via interlokal sebab Semarang sendiri suasananya gawat. H. Iskandar Idris minta bantuan eks Daidancho Sudirman ( Panglima Besar Sudirman ) di Purwokerto agar menghubungi Butaicho Purwokerto yang membawahi militer Banyumas dan Pe- kalongan, untuk menarik mundur pasukan Jepang dari Pekalongan. H. Iskandar Idris juga menjelaskan kepada Daidancho Sudirman tentang perkembang situasi di Pekalongan. Usaha minta bantuan kepada Daidancho Sudirman tidak sia-sia, karena pada tanggal 5 Oktober 1945 diterima berita dari Purwokerto, bahwa penyelesaian masalah berhasil dengan baik.Tentara akan ditarik dari Pekalongan dan dibawa ke Purwokerto, serta Minta agar saluran telepon Markas Kempeitai yang diputus agar disambung kembali sebab Butaicho dapat menghubungi dan memberi perintah kepada Kepala Tentara Jepang di Pekalongan. Jepang akhirnya menyerah dan mengibar kan bendera putih setelah listrik, air minum dan telepon dimatikan para pemuda. ( Wa wancara dengan Bapak Abdul Karnen ).
…..Pada sore hari itu Residen Banyumas Iskaq Cokrohadisuryo disertai seorang penterjemah, Saburo Tamuro, dan Kapten Nonaka dari garnisun Banyumas untuk mengadakan perundingan dengan BKR yang dipimpin Iskandar Idris.BKR menuntut gencatan senjata segera dimulai Semua orang Jepang di wilayah Pekalongan harus menyerahterimakan senjatanya kepada BKR, dan setelah itu dan harus secepatnya meninggalkan wilayah ini.Dua orang Jepang yang menyertai Residen Iskaq itu menyetui persyaratan ini dan mengatakan akan berusaha melakukan kontak dengan opsir-opsir Kempeitei yang terkepung itu.Ini dilakukan sekitar pukul 9.00 malam. Setelah dua jam yang mendebarkan, seorang wakil Jepang bekas staf Syuchokan ( Residen ) datang ke kantor kawedanan dan memberitahu bahwa Kempeitei menerima persyaratan itu.Perundingan langsung antara Kempeitei, Iskandar Idris, komandan garnisun Pekalongan, Kapten T. Oka, dan beberapa orang lagi berakhir dengan sukses pada tengah malam tanggal 6 Oktober. ( Lucas, 1989 : 126-127 ).
Hasil perundingan Eks Daidancho Sudirman dengan Butaicho berhasil dengan baik dan hampir memenuhi harapan rakyat Pekalongan, yakni :(1). Seluruh Bala Tentara Jepang dan Jepang Sipil akan dijemput oleh Butaicho dari Purwokerto, dan akan diangkut dengan truk ke Purwokerto. (2). Semua peralatan perang akan ditinggalkan dan akan diserahkan kepada eks Daidancho Pekalongan. (3). Pemerintahan dipin- dahkan kepada pejabat Indonesia secara geruisloos ( tanpa upacara dan tanpa timbang terima ). (4). Tanggungjawab keamanan dan ketentraman menjadi tanggung jawab bangsa Indonesia. (5). Eks Daidancho Pekalongan supaya menjEmput utusan Butaicho dari Purwokerto di Tegal. Perjalanan dan pulangnya mengangkut orang-orang Jepang jangan sampai terganggu atau ada provokasi dari pihak pemuda. (6). Penyerahan senjata tersebut butir 2, dilaksanakan setelah sampai di Tegal secara geruisloos.
Pelaksanaan pemindahan Tentara Jepang dari Pekalongan ke Purwokerto berjalan dengan aman. Konvoi diberangkatkan tanggal 7 Oktober 1945, pukul 04.30 dari Pekalongan lewat Tegal secara diam-diam. Kota Pekalongan menjadi aman dan baru di Pekalongan inilah tentara Jepang terusir dari wilayah Indonesia.
Rentetan peristiwa penting di Pekalongan dari sekitar proklamasi sampai peristiwa 3 Oktober 1945 , terlihat peranan penting dari KNI Daerah Pekalongan dalam pengambilalihan kekuasaan yaitu :
Membentuk KNID dan Badan Eksekutipnya untuk membantu tugas-tugas Kepala Daerah.
Melakukan perundingan awal dengan pihak Jepang untuk mengambilalih kekuasaan baik sipil, maupun militer.
Menyatukan segala kekuatan masyarakat untuk menuju satu cita-cita bersama yakni menegakkan kemerdekaan . Contoh selalu terjadi koordinasi antara kelompok KNID, BPKKP, dan para pemuda.
Menyelesaikan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang setelah kegagalan dalam perundingan, dengan menugaskan H. Iskandar Idris untuk minta bantuan mengatasi masalah di Pekalongan kepada Eks Daidancho Sudirman di Purwokerto, yang berhasil baik, terbukti dengan dapat ditariknya Tentara Jepang ke Purwokerto dari Pekalongan.
Itulah peranan KNI Daerah Pekalongan yang berhasil menyelesaikan pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang, meskipun harus ditebus dengan gugurnya 37 orang dan cacat tetap sebanyak 12 orang
Usaha menghargai jasa pahlawannya oleh masyarakat dibuatkan suatu monumen sebagai tanda kebesaran perjuangan rakyat mengambilalih kekuasan dari Jepang di Pekalongan. Monumen Perjuangan 3 Oktober 1945 di Pekalongan semula dibuatkan di halaman depan bekas Markas Kempeitai dan masuk dalam lingkup situs sejarahnya. Namun berbagai faktor menyebabkan letak monumen berubah beberapa kali, dan letak yang terakhir di bekas Kebon Rojo, tempat dulu rakyat menyaksikan dan menjadi korban keganasan Jepang dalam Peristiwa 3 Oktober 1945 di Pekalongan
Monumen Perjuangan 3 Oktober 1945 mula-mula dibangun pada tahun 60-an, tepatnya diresmikan tanggal 20 Mei 1964, bersamaan dengan peringatan Kebangkitan Nasional sekalian peresmian Tugu Pahlawan 3 Oktober 1945. Tujuan pembangunan Tugu Pahlawan ini ada dua yaitu:
1. Mengabadikan semangat juang rakyat Pekalongan dalam melawan fascisme Jepang dan kolonialisme.
2. Untuk menambah keindahan kota Pekalongan
Demikian menurut Pidato Pembukaan Ketua Panitia Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1964 Kotapraja dan Kabupaten Pekalongan dan Peresmian Tugu Pahlawan 3 Oktober 1945 yang dibacakan oleh Suratman. ( lihat lampiran VII dan VIII ).
Monumen ini dibangun tepat di depan gedung Markas Kempeitai, sehingga kete- patan penempatan monumen memiliki kebanggaan tersendiri bagi masyarakat. Karena pada masa Orde Lama dominasi PKI tampak dalam bentuk monumen maupun reliefnya, maka setelah peristiwa G 30 S/ PKI, Kesatuan Aksi KAPPI dan KAMI mendesak agar monumen yang bernafaskan komunis itu dibongkar saja. Karena dana yang terbatas, pembongkaran total terhadap monumen tidak dilakukan, dan hanya unsur yang berbau komunis dihilangkan. Akhirnya bentuk monumen dibuat kerucut dengan hiasan topi-topi baja saja. Nama gedung Pemuda diganti dengan Wisma Taruna Tama. DHC Angkatan 45 memprakasai penyempurnaan monumen yang berbentuk kerucut ini dengan menggali dana lewat kerjasama dengan Ketoprak Siswo Budoyo yang sedang pentas di Pekalongan. Ternyata pendanaan tidak cukup untuk pembiayaan pembuatan taman di lapangan sebelah gedung, sehingga pembangunan Taman Monu- mennya ditunda. Pembangunan Taman Monumen gagal. Pihak Pemda Dati II mengulurkan bantuan kepada DHC Angkatan 45 untuk menyerahkan rencananya kepada pemerintah daerah bahkan anggaran akan dimasukkan didalam APBD Kodya Pekalongan, termasuk biaya penyelenggaraan peringatan-peringatan 3 Oktober tiap tahunnya serta 3 Oktober akan diangkat menjadi Perda sebagai Hari Peringatan Pertempuran Kodya Pekalong Janji pihak Pemda Kodya Dati II Pekalongan terlaksana dengan dibangunnya Taman Monumen yang megah. Peresmian Monumen Perjuangan 3 Oktober1945 ini dilaksanakan tanggal 3 Oktober 1983, bersamaan peringatan Peristiwa Pertempuran 3 Oktober 1945 di Pekalongan, yang ditetapkan Panitia oleh Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Pekalongan No: 003.I /118 Tahun 1983 yang ditandatangani Djoko Prawoto, BA. .
Adapun tanggal 3 Oktober ditetapkan sabagai Hari Peringatan Peristiwa Pertempuran di Pekalongan dengan keluarnya Peraturan Daerah Kodya Dati II Pekalongan No: 6 tahun 1983 Tentang Penetapan Tanggal 3 Oktober sebagai Peringatan Peristiwa Pertempuran di Pekalongan. Penetapan Perda ini tanggal 19 September oleh Walikotamadya Dati II Pekalongan Djoko Prawoto, BA dan Ketua DPRD Kotamadya Daerah Tingat II Pekalongan RH. ABS. Herman Koestino.
Lokasi gedung Pemuda dan Lokasi Monumen Perjuangan 45 di Jalan Pemuda Pekalongan.Situs sejarah berupa markas Kempeitei sekarang sudah berubah menjadi Masjid yang cukup megah yang diberi nama Masjid Syuhada.
Bambang Indriyanto
( Ringkasan skripsiku di IKIP SEMARANG TAHUN 1998 )