MGMP SEJARAH SMA

MGMP SEJARAH SMA
Kegiatan Guru Sejarah SMA se Kab Batang

Minggu, 15 April 2012

Karya Nur Khasanah, pendidik di Batang

11 Agustus 2008
Menelusuri Jejak Pahlawan Kalisalak
  • Oleh Nur Khasanah
 
 
 
TAK lama lagi, segenap bangsa Indonesia bakal merayakan HUT Ke-63 Kemerdekaan RI. Bagi masyarakat Batang, momen peringatan Hari Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus itu sekaligus memiliki makna khusus, apabila dikaitkan dengan kiprah pahlawan Kalisalak.

Jejak pahlawan Kalisalak merupakan file penting yang patut diketahui, kususnya bagi masyarakat Batang, yang secara historis memiliki kedekatan batin dengan sosok pejuang yang pernah hidup sekitar dua abad lampau itu.

Paling tidak, warga Batang memiliki semacam kebanggaan karena memiliki pahlawan, meskipun gelar penghormatan ini baru diberikan pemerintah tahun 2004, melalui Keppres No 089/TK/2004 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun, siapakah sebenarnya pahlawan Kalisalak? Dialah KH Ahmad Rifa‘i, ulama pejuang sekaligus pembaharu dalam pemikiran keagamaan dan kemasyarakatan. Disebut pahlawan Kalisalak, karena dia pernah dibuang di kawasan terpencil tak jauh dari Alas Roban. Tepatnya di Kampung Kalisalak, Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang.

Di daerah pembuangan inilah, Kiai Rifa‘i berkiprah menggerakkan masyarakat melalui jalur pendidikan. Dia melakukan agitasi melawan kolonial Hindia Belanda, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Bahkan sejarahwan Prof Dr Sartono Kartodirdjo menyebut Kiai Rifa‘i sebagai sosok yang reformis dan fundamentalis.

Sarana Pembelajaran

Tanpa bermaksud menafikan para tokoh sejarah lain, yang kini berbaring di Taman Makam Pahlawan Kadilangu Batang, maka pembicaraan tentang sepak terjang Kiai Rifa‘i memiliki makna sebagai sarana pembelajaran bagi generasi masa kini.

Minimal warga setempat tahu bahwa Kabupaten Batang juga punya pahlawan.
Kiai Rifa‘i lahir di daerah Tempuran, Kendal, pada tanggal 13 November 1785 (versi lain menyebut 1786), atau bertepatan 9 Muharram 1200 H. Ayahnya bernama Muhammad Marhum bin Abi Sujak Wijaya, alias Raden Sukocito; seorang penghulu. Sedangkan ibunya bernama Siti Rochmah.

Kiai Rifa‘i belajar di sejumlah pesantren. Kepintarannya di bidang agama mendorongnya selalu bersikap kritis terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di usia muda, dia pernah dipenjara dan dikeluarkan dalam usia 30 tahun dan langsung berangkat ke Makkah menunaikan ibadah haji.

Selama bertahun-tahun, dia menetap di Tanah Suci. Kesempatan berharga ini dimanfaatkannya untuk berguru kepada sejumlah ulama besar, antara lain Syekh Ustman, Syekh Fakih Muhammad ibnu Abdul Aziz Al-jaisyi, dan Syekh al-Barowi. Kiai Rifa‘i juga berguru kepada pengarang kitab Fathul Qarib yang sangat terkenal, Syekh Ibrahim Al-Bajuri.

Pulang ke Tanah Air tahun 1832, dalam usia 51 tahun, Kiai Rifa‘i kembali mengumandangkan semangat nasionalisme dan antikolonialisme. Gerakan perlawanan ini lebih menekankan pada aspek keagamaan dengan budaya masyarakat lokal.

Dia membuka kesadaran masyarakat untuk menjadikan Islam sebagai ruh kehidupan dan perjuangan. Dalam serangkaian tulisannya, Kiai Rifa‘i menyebut Belanda sebagai kafir. Maka, siapapun yang berkolaborasi dengan Belanda juga dianggap kafir.

Kitab Tarajumah

Kiai Rifa‘i dikenal sangat dekat dengan rakyat, karena mampu mengajar agama dengan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya. Ia menulis sekitar 55 judul kitab dengan huruf pegon, yang hingga sekarang masih dibaca oleh para pengikutnya. Kitab-kitabnya diberi nama Tarajumah, yang artinya terjemahan. Nama Tarajumah inilah yang akhirnya menjadi ikon perjuangannya menentang penjajah.

Dalam perjuangannya melawan Belanda, Kiai Rifa‘i setidaknya menggunakan tiga ideologi. Pertama, menganggap pemerintah kolonial Belanda adalah kafir karena menindas rakyat.

Kedua, kaum birokrat tradisional adalah antek-antek Belanda, dan karenanya juga dianggap kafir. Ketiga, praktik keagamaan tidak boleh dicampur dengan kepercayaan nenek moyang.

Pandangan ini akhirnya tersebar luar di masyarakat. Akibatnya Kiai Rifa‘i ditangkap Belanda untuk kali kedua, dengan tuduhan menghasut rakyat.
Dan, seperti dijelaskan di awal tulisan, ia lalu diasingkan di sebuah desa terpencil, Kampung Kalisalak, Kecamatan Limpung, tahun 1838.

Di sanalah Kiai Rifa‘i membangun sebuah pondok pesantren sebagai basis perjuangannya. Tinggal di pengasingan tidak menyurutkan semangatnya untuk menentang penjajah. Belanda pun marah, sehingga Kiai Rifa‘i ditangkap lagi, tapi kali ini dibuang ke Ambon, Maluku.

Sepuluh tahun setelah masa pembuangan itu, tepatnya pada 11 Juni 1869, Kiai Rifa‘i wafat. Jenazahnya dimakamkan di Ambon. Kendati jasadnya menjauh dari Batang, jasa-jasa Kiai Rifa‘i pantas dikenang bukan saja oleh masyarakat Batang tetapi masyarakat Indonesia. Maka, sangat ironis jika masyarakat Batang sampai tidak mengenal pahlawan Kalisalak itu. (32)

— Nur Khasanah, pendidik, tinggal di Batang.


Diambil dari Suara Merdeka Cetak.com Tanggal 16 April 2012

Rabu, 11 April 2012

Materi Kepurbakalaan dari Bapak Mulyono Yahman, S.Pd, sejararawan Batang

ARCA GAJAH

Oleh : Mulyono Yahman


Di Dukuh Kupang Desa Brokoh Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang terdapat fragmen arca Gajah. Disebut demikian karena arca ini ditemukan dalam kodisi tidak utuh,sebagian yang masih bisa diliat atau dikenali ada bentuk Gajah, ada kaki manusia dan juga ada sayap sayap burung. Sedangkan sebagian atas hilang dan tidak dapat ditemukan . berdasarkan data temuan yang ada, maka dapat diprediksi bahwa bagian atas dimungkinkan Dewa Wisnu, hal ini dihubungkan dengan adanya sayap burung.Ikonografi pada umumnya burung berarti burung Garuda,yang merupakan kendaraan Dewa Wisnu.
Gambaran arca tersebut diatas berdasarkan pada metode perbandingan ( studi komparatif ) maka fragmen arca Gajah yang ada di Kupang erat hubungan dengan epos karivarada seperti yang ada di Mysore India.
Dewa Wisnu merupakan salah satu Dewa yang tergabung dalam dewa-dewa utama Trimurti, yang terdiri dari Brahma – Wisnu – Siwa. Pemujaan terhadap dewa Wisnu banyak disinggung dalam kitab-kitab Veda, bahwa dewa Wisnu mempunyai tugas sebagai dewa yang memelihara dan mempertahabkan dunia agar tetap damai dan tidak hancur atau rusak.
Sebagai Dewa pemelihara Wisnu kerapkali turun ke dunia untuk menolong dunia dari kehancuran. Dalam upaya menolong dunia Wisnu menjelma dalam berbagaiperwujudan atau avatara menjadi 10 karakter, dan salah satu diantaranya ialah berkarakter sebagai paracuramavatara ( Rama yang bersenjatakan kampak ).
Dalam epos karivarada Wisnu naik Garuda yang bertengger di atas gajah dengan mengacungkan tangannya yang bersenjata kampak. Filosofi yang didapat dari perwujudan ini adalah sesuai dengan tugasnya memelihara kehancuran, yang berarti menghalau segala kejahatan yang akan menghancurkan dunia.
Arca Gajah yang ditemukan di Kupang dugaan sementara adalah arca seperti yang terdapat dalam epos karivarada, untuk temuan ini di indonesia masih tergolong langka. Karena wujud yang dapat dikenali secara awam nampak seekor Gajah maka disebut Arca Gajah.



Batang, 1Agustus 2008


Sumber bahan:
Ferdinandus, F.E.J.1974 Wisnu diatas Garuda, Fakultas Satra Universitas Indonesia Jakarta.

Suyatmi Satari, 1977 laporan penelitian Kepurbakalaan di daerah Pekalongan, Batang dan Kendal ,pusat penelitian peninggalan purbakala nasional (Pus P 3 N ) Jakarta
Gunadi Nitihaminoto, 1978 Eksvasi Candi Cepit di Kabupaten Batang, Proyek Penelitian Peninggalan Purbakala Yogyakarta ( P4Y ) Yogyakarta
Kanwil Departemen P dan K Propinsi Jawa Tengah Laporan Inventarisasi Kepurbakalaan Kantor Dep P dan K Kabupaten Batang ( dalam Proyek Inventarisasi sejarah dan Peninggalan Kepurbakala 1981/1982 )

Kiriman Bapak Entjeng S Sudjana, pemerhati sejarah Batang


 MELACAK JEJAK-JEJAK KERAJAAN MAHASIN

                                                                        Oleh : Entjeng S.Sudjana

            Sore itu sekawanan burung bergerombol menuju sarangnya setelah seharian “menjarah” persawahan siap panen di desa Masin. Sepotong kaca di selokan kecil yang airnya kotor berkilau diterpa matahari senja. Jalanan utama di desa yang sejak lama dikenal sebagai pengrajin kulit itu sekarang tampak lengang menjelang adzan magrib berkumandang. Tidak ada yang luar biasa di desa Masin . Suasana keseharian desa dalam wilayah kecamatan Warungasem Kabupaten Batang Jawa Tengah itu seperti halnya desa-desa lain di kawasan pantura tampak sederhana dan agamis. Tapi tokoh terkemuka sejarawan Indonesia  Purbatjaraka menetapkan bahwa di desa Masin inilah pusat kerajaan Mahasin berada. Mahasin adalah sebuah kerajaan yang disebut-sebut dalam berita Cina yang diperkirakan berdiri pada Abad VII M yang sampai saat ini terus “diburu” sejarawan karena diyakini sebagai prolog lahirnya Borobudur dan Prambanan. Sejarawan lain ,  Slamet Mulyana  dalam bukunya “Dari Holotan ke Jayakarta”  menyimpulkan bahwa Mahasin  itu tidaklah lain dari Tarumanegara . Menurut dia Kerajaan tertua di Indonesia setelah Kerajaan Kutai itu sesudah ditaklukan  oleh kerajaan Sriwijaya  disebut Bhagasin kemudian jadi  Bekasi yang ditransilitasikan oleh seorang pendeta Cina bernama I tsing yang pernah berkunjung di Mahasin   menjadi Mo -ho -hsin.   Menurut I tsing yang dikutip Slamet Mulyana dalam buku tsb.  Kerajaan Mahasin terletak di laut selatan antara Shih -li-fo-shih  (Sriwijaya) di Palembang dengan Ho-ling (Keling) yang di lokasikan di  lembah sungai berantas (Jawa Timur).
            Pendapat Slamet Mulyana  saat ini diterima luas karena  argumentasi ilmiah dalam bukunya “Dari Holotan ke Jayakarta” sangat meyakinkan, tapi sebenarnya pendapat Purbatjaraka yang berpendapat bahwa lokasi kerajaan  Mahasin terletak di desa Masin jauh lebih masuk akal. Hal itu didukung faktang fakta  berupa : peranan desa Masin dalam sejarah,  kondisi fisik desa Masin yang cukup meyakinkan seandainya dijadikan  pusat kerajaan Abad VII,  adanya temuan arkeologi klasik disekitar desa itu,  adanya toponim yang sama atau sekurang-kurangnya mirif dengan toponim Mo – ho - hsien, dan  adanya keterkaitan suatu peristiwa dengan peristiwa lain dalam  kesesuaian kisi-kisi waktu.
            Sejarah mencatat sejak jaman klasik (jaman Hindu dan Budha) desa Masin  telah berperan.  Menurut prasasti Erlangga   l032 M , raja Erlangga pernah datang di desa Masin untuk menghancurkan musuh-musuhnya. Dalam prasasti itu disebutkan raja Erlangga menghadiahkan desa baru kepada   penduduk Masin sebagai balas budi pada penduduk desa itu yang banyak membantunya . Kemudian pada jaman Islam , Masin menjadi pusat penyebaran Agama Islam ditandai adanya  makam ulama besar  Syeh Tolabuddin. Lalu pada jaman Mataram , Sultan Agung menugaskan  Adipati Manguneng  sebagai penguasa Batang dan Pemalang berkedudukan di Masin.  Sultan Agung juga pernah memberi tugas kepada kakak beradik , yaitu Mandurorejo sebagai Adipati Batang dan Uposonto , adiknya sebagai adipati Pekalongan. Dan pada jaman Belanda sampai  menjelang perebutan kemerdekaan, Masin  berstatus sebagai sebuah distrik. Dengan demikian denyut kehidupan telah berdetak di desa Masin sekurangnya dua belas abad.   Saat ini yang  tersisa dari  desa Masin dan desa-desa sekitarnya seperti desa Sijono, Menguneng, Sawah Joho, Lebo, dan Kalisalak adalah profil pedesaan dikelilingi persawahan tetapi jalan-jalan, gang-gang dan kelokan-kelokan dalam desa-desa tersebut  membentuk labirin yang sangat ruwet yang dapat membuat orang tersesat.   
            Secara fisik desa Masin merupakan dataran rendah yang subur sehingga tidak aneh jika sejak dahulu kala menjadi tempat   pemukiman. Desa ini diapit dua pelabuhan  yaitu pelabuhan Batang dan Pekalongan. dengan sungai-sungai besar dan kecil bermuara dikedua pelabuhan tersebut. Sekitar l2 km dari Masin  terdapat bukit bernama Ujungnagoro yang tinggi nya  l3 meter  menjorok ke laut yang sangat bagus dijadikan tempat mengintai kedatangan kapal musuh. Desa Masin dialiri  sebuah sungai besar bernama sungai Loji  yang bermuara di Pelabuhan Pekalongan. Sungai Loji dengan ketiga anak sungainya yaitu sungai Kupang, Retno dan Sumilir diperkirakan berperan penting bagi komunitas Abad VII karena banyak temuan arkeologi Abad VII seperti patung, lingga , yoni dan pecahan tembikar  ditemukan ditepian sungai-sungai tersebut. Dengan demikian fisik dan geografi desa Masin cocok untuk dijadikan pusat kerajaan, bahkan siapapun orangnya yang pada Abad VII mendirikan keraton disana pastilah orang itu akhli strategi ulung.         Adalah wajar jika ada orang meragukan desa Masin sebagai pusat kerajaan Abad  VII  karena di lokasi  desa ini tidak ditemukan  candi, patung, sisa bangunan keraton maupun peninggalan sejarah lainnya. Tapi nanti dulu, hal ini mungkin ada kaitannya  dengan  berita Cina dari periode  Dinasti Tang, bahwa  bangunan-bangunan kota kerajaan di Jawa periode Jawa Tengah ( Abad VI s/d Abad X M) ,”tembok-tembok kotanya hanya terdiri dari papan-papan kayu , sedangkan bangunan-bangunan besar tempat tinggal raja dan para keluarganya  dibuat berlantai dua dengan menggunakan atap daun palma” (Supratikno Raharjo : 2002,343). Dalam kondisi demikian wajarlah jika kerajaan Mahasin tidak meninggalkan bekas keraton. Selain itu disepanjang jalur pantura hampir tidak dapat ditemukan peninggalan jaman klasik, mungkin karena ulah manusia atau karena bergesernya garis pantai selama berabad-abad akibat  rob, erosi dan abrasi. Tapi sekitar 7 km sebelah selatan desa Masin, tepatnya di desa Silurah kecamatan Wonotunggal  yang letaknya agak terpencil dikaki gunung Rogokusumo  ditepian sungai Sumilir,  terdapat tempat “misterius” mirip bunker alam yang terkesan angker terdapat patung Ganesya dengan langgam Cibuaya I , sebuah arca tidak berkepala dan semacam kolam kuno  yang dulunya mungkin berfungsi sebagai petirtaan. Tidak jauh dari tempat ini , ditepian sungai Kupang, terdapat watu gilang tempat duduk raja, lingga semu, watu ronggeng  dan relief gajah buaya , kesemuanya  dilihat dari langgam dan gaya pahatannya  sejaman dengan patung Ganesya di Silurah. Relief  gajah-buaya  yang ditemukan ditepian sungai Kupang itu sangat menarik, menggambarkan gajah, buaya , garuda  dan tangan manusia . Relief semacam ini konon didunia hanya ada dua buah, yang satunya lagi berada di Mysore India. Masih banyak  temuan  arkeologi  di desa dan kecamatan dalam wilayah kabupaten Batang  yang menunjukan bahwa ditempat itu terdapat  kerajaan  atau bagian dari kerajaan , hanya sayangnya belum mengarah pada penyebutan nama sebuah negara..
             Paktor lainnya yang memperkuat dugaan desa Masin sebagai pusat kerajaan Mahasin adalah adanya toponim yang sama  atau mengarah pada toponim “Mo-ho-hsien.” Menurut Buku Sejarah Batang “  yang disusun Pemerintah Kabupaten Batang pada tahun l993 , kerajaan Mahasin dipimpin oleh raja sekaligus pendiri kerajaan tsb bernama Sana  . Nama “Sana “ tidaklah asing dalam sejarah Nusantara, karena muncul dalam “Carita Parahyangan” dan “Pustaka Raja-Raja I Bhumi Nusantara “ serta dalam prasasti tertua yang ditemukan di P.Jawa yang berangka tahun 732 M yakni prasasti “Canggal”. Raja Sana atau Sena yang biasa dipanggil Bratasena atau Mahasena semula adalah raja Galuh yang dikudeta oleh adik kandungnya sendiri bernama Purbasora. Tapi nasib mujur Sana dan prajuritnya yang setia  dapat menaklukan    Medang Kamulan, sebuah kerajaan yang diperkirakan terletak di lereng gunung Kamulan , sekarang  termasuk Wilayah  kecamatan Blado, Batang,sekitar l5 km dari Masin.  Sana yang  berambisi  untuk menguasai perdagangan   mungkin memindahkan pusat kerajaannya  ke tempat yang lebih dekat dengan lautan serta mengganti nama keratonnya dengan  namanya sendiri  “Mahasena “..Dalam kaitan inilah toponim Mo-ho-hsien, yaitu nama negara yang dikunjungi  I tsing  sangat mirip  dengan Toponim “Mahasena”, nama kerajaan yang didirikan Sana.
            Keterkaitan manusia, benda dan peristiwa  dalam kisi kisi waktu akan semakin memperkuat dugaan bahwa Mahasin itu memang berlokasi di Masin.  Dalam prasasti Canggal     diceritakan keperkasaan raja Sana dalam menaklukan musuh-musuhnya  sehingga wilayah Mahasin semakin luas  dan mungkin pada saat itu telah mampu  menguasai jalur perdagangan Batang, Pekalongan, Pemalang ,  dan Tegal .  Sadar akan bahaya yang senantiasa mengintai setiap saat, raja Sana  mengungsikan putra mahkotanya yang bernama Sanjaya yang baru berumur 7 tahun ke tempat tinggal mertuanya di lereng Bgunung  Merapi. Kelak Sanjaya akan menjadi tokoh terkemuka  pendiri dan raja pertama Medang I Bhumi Mataram. Perkiraan raja Sana samasekali tidak meleset, karena pada tahun 686 M datanglah serbuan Sriwijaya .  Armada Sriwijaya  seperti tsunami yang menyapu kerajaan -kerajaan yang ada di bumi Jawa yaitu  Mahasin, Tarumanagara dan Kholing (Kaling). Serangan Sriwijaya atas Bhumi Jawa itu diabadikan dalam Prasasti Kota Kapur, sedangkan penguasaan Sriwijaya  atas Mahasin  tersirat dalam prasasti Sojomerto. Seiring dengan itu munculah tokoh paling terkemuka dalam sejarah Nusantara jaman klasik yaitu Dapunta Selendra atau lebih dikenal dengan nama Dapunta Sailendra, mungkin tokoh tsb adalah panglima tentara Sriwijaya yang  menyerbu Bhumi Jawa.  Atas jasa-jasanya menaklukan Bhumijawa, maka Raja Sriwijaya Dapunta Hyang Jayanagara menobatkannya  menjadi  raja Mahasin. “Nama Mahasin “ tetap dipertahankan  oleh penguasa baru  itu dengan dua alasan, pertama, dari berita-berita Cina diketahui setelah tahun 686   Mahasin masih mengirimkan upeti ke negeri Cina, dan fakta menunjukan bahwa walaupun nama Sailendra terkenal sampai di mancanegara, tapi nama kerajaan dari Dinasti Sailendra di pulau  Jawa itu tidak diketahui orang. Hal itu erat berkaitan dengan karakteristik kerajaan Sriwijaya sebagai  negara maritim, walaupun memiliki armada yang sangat kuat  tidak punya kekuatan  mengontrol semua aspek kehidupan negara-negara yang ditaklukannya .  Karena itu putra Mahkota Sanjaya dibantu sisa-sisa laskar Mahasin yang setia mendapat peluang untuk konsolidasi dan berhasil mendirikan kerajaan baru Medang I Bhumi Mataram. Kelak  antara Mahasin dibawah penguasa baru dan Medang I Bhumi Mataram bukan saja tidak saling menjatuhkan malahan  bersimbiose dan saling membutuhkan sehingga  masing-masing menjadi negara yang besar.
            Persoalan lain yang perlu dijawab ialah , “apa sebabnya atas negara yang sama mendapat sebutan berbeda ?” I tsing menyebut negara itu Mo-ho-tsin, Sriwijaya menyebutnya Bhumijawa, dan orang  Sunda menyebutnya Medang Agung. I tsing diperkirakan datang langsung kepusat kerajaan Mahasin pada tahun 692 atau 6 tahun setelah Sriwijaya menundukan Mahasin dan mendapatkan sebelah barat keraton mahasin  yang sekarang jadi wilayah Pekalongan terdapat atribut -atribut agama Budha . Itulah sebabnya I tsing memberitakan “Mo - ho - tsin adalah negara di laut selatan yang beragama Budha.. Sampai saat ini di wilayah Pekalongan terdapat tempat-tempat dengan atribut kebudhaan seperti  Kasogatan, Sangkara, Pavitra, Mayonang, Buaran dll. Sedangkan  Sriwijaya mengartikan nama suatu negara  identik dengan pelabuhan negara itu. Diduga toponim “Bhumi Jawa” itu adalah nama  dari pelabuhan Tegal pada Abad VII. Toponim “Bhumijawa” sekarang terdapat 30 km selatan kota Tegal . Adapun Sebutan “Medang Agung” berangkat dari Fakta bahwa  pada Akhir Abad VII di pulau Jawa  terdapat banyak tempat bernama “Medang”, tapi hanya satu yang terbesar dan  megah  yaitu  “Medang Kamulan “ alias Mahasin. Dengan demikian “wacana” Masin sebagai pusat kerajaan Mahasin  meningkat statusnya menjadi “dugaan kuat” atau prediksi. Tapi kepastian nya menunggu kiprah para ahli sejarah untuk membuat peninggalan  arkeologi Abad VII di Batang , Pekalongan. Pemalang dan Tegal  “berbicara” menceritakan riwayatnya masing-masisng.

Selasa, 10 April 2012

Karya Kawe Samudra


Sabtu, 2008 September 20

Patung Ganesha di Batang

KASUS pencurian, perusakan dan perdagangan arca kerap terjadi di berbagai daerah, termasuk Batang. Beberapa kali terjadi penggelapan aset-aset purbakala. Arca Ganesha di Desa Rejosari, kecamatan Tersono jadi sasaran pencurian. Kemudian, arca Ganesha di Desa Silurah, kecamatan Wonotunggal, beberapa kali hendak dicuri, untung bisa digagalkan. Sebagian kepala arca juga dipenggal. Dan bisa jadi, kejahilan serupa di masa-masa mendatang akan terulang lagi.
Fakta di atas merupakan preseden buruk bagi dunia kepurbakalaan, sekaligus cermin rendahnya penghargaan masyarakat terhadap benda-benda cagar budaya.
Upaya pemerintah melindungi aset-aset purbakala lewat perangkat Undang-Undang tampaknya belum cukup ampuh untuk meredam kasus-kasus pencurian. Masyarakat masih menganggap arca-arca peninggalan jaman purba, sama dengan batu-batu biasa yang bisa dijual seenaknya.
Bicara tentang soal pencurian Ganesha, tampaknya terjadi paradoks yang menggelikan. Kita tahu, Ganesha menyimpan nilai filosofi yang mendalam. Dalam sejarahnya, arca ini menyimpan nilai-nilai kearifan dan dibuat sebagai simbol ilmu pengetahuan. Patung Ganesha antara lain digambarkan sedang menyerap otak, dimana otak merupakan sumber kesadaran dan alat penting untuk menyerap ilmu pengetahuan.
Ini merupakan pesan penting, bahwa hanya dengan pengetahuan yang tinggi manusia bisa menjunjung martabatnya. Maka sungguh ironis jika filosofi tersebut diacak-acak sendiri oleh oknum pencuri dan perusak Ganesha. Orang yang mencuri Ganesha sejatinya telah menelanjangi diri-sendiri dengan sikapnya yang bodoh dan kering ilmu pengetahuan.

Wong Ngerti

Orang awam pun bisa menebak bahwa yang suka mencuri arca-arca pasti wong ngerti (berpengalaman). Setidaknya mereka tahu bahwa benda-benda itu laku dijual dan harganya mahal. Tidak cukup hanya itu, mereka pun pasti tahu seluk-beluk perdagangan arca. Mereka juga paham bahwa mencuri dan menjual benda-benda cagar budaya termasuk pelanggaran Undang Undang dan pelakunya (jika tertangkap) bisa dipenjara.
Tengoklah kasus menghebohkan soal pencurian sejumlah arca di Museum Radya Pustaka Solo belum lama ini, ternyata pelakunya justru melibatkan orang dalam (wong ngerti) yang semestinya harus menjaga aset-aset negara tersebut.
Itulah sisi buruk dunia kepurbakalaan kita. Pangkal persoalannya adalah rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga dan mengapresiasi benda-benda cagar budaya, sehingga muncul upaya-upaya busuk untuk menghilangkan sumber ilmu pengetahuan dengan cara perusakan, pencurian, sampai pemalsuan. Faktor mentalitas nggragas (serakah) jelas sangat berperan di sini. Orang kalau sudah serakah, semua mau ditelan, termasuk patung sekalipun.
Seluruhnya selalu berujung pada soal uang, yang selalu membuat orang ngiler. Budaya materialistis mampu membalikkan logika sehingga mendorong manusia berbuat tidak wajar, bahkan mengingkari pengetahuan yang dimiliki. Ilmu pengetahuan ada kalanya bukannya membuat manusia menjadi bijak, tetapi justru menjadi kian norak.
Dan satu lagi yang mungkin layak diwaspadai, yakni adanya oknum masyarakat yang memang membenci arca karena alasan keyakinan, sehingga merasa “perlu” untuk merusak atau membuang arca-arca itu karena khawatir bisa menggelincirkan masyarakat pada perilaku syirik alias menyekutukan Tuhan. Dan itu adalah dosa besar.
Begitulah cara pandang hitam-putih, tanpa memahami proses peradaban manusia yang terus berubah. Orang-orang dahulu mungkin memuja-muja ruh leluhur lewat perantara arca-arca. Tetapi jaman sekarang paradigmanya sudah berubah. Orang melihat arca karena ingin rekreasi, napak tilas, syukur bisa menimba pengalaman dan pengetahuan baru melalui benda-benda bersejarah.
Memegang sebuah keyakinan memang tidak dilarang, tetapi tidak lantas bersikap radikal ingin menghancurkan arca hanya karena dianggap mengganggu akidah (diberhalakan). Karena secara fisik arca hanyalah batu, sama dengan benda-benda lainnya. Konsep berhala adalah soal penafsiran. Dan semua benda, tidak hanya arca, pada prinsipnya bisa berubah menjadi berhala, tergantung dari sisi mana orang menafsirkannya.*** (Foto dan teks: Kawe Samudra)

Senin, 09 April 2012

Tradisi Jumat Kliwonan di Batang


Perubahan social budaya pada Tradisi Kliwonan
di Kabupaten Batang
Oleh : B Indriyanto

  1. Latar Belakang
Tradisi Kliwonan di Kabupaten Batang merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Batang dilaksanakan setiap hari kamis wage dan dilanjutkan pada jumat kliwon, hanya berbeda lokasinya saja.
Pada hari kamis wage kegiatan dilakukan di alun-alun Batang dilakukan sejak berdirinya Kabupaten Batang.Masyarakat berdatangan di alun-alun dan disana sekarang sudah bergeser kearah bisnis makanan, minuman atau barang kerajinan.Masyarakat yang punya hajat tertentu bergulingan dialun alun kemudian mandi di sumur masjid serta melarung pakaiannya  ke laut untuk membuang sial.Sementara pada pagi harinya mereka berkunjung ke Sungai Kramat di Sebelah selatan tiga km dari alun-alun Batang.
Para muda-mudi banyak berkeyakinan kalau mandi di Sungai tersebut akan dapat jodoh,Tradisi  ini berlanjut sampai sekarang hanya saja hal-hal yang tidak rasional sudah ditinggalkan.Inilah perubahan social budaya pada tradisi kliwonan di Batang.
  1. Landasan Teori
Perubahan social adalah ketidak sesuaian diantara unsure unsure di dalam masyarakat sehingga tidak menimbulkan keserasian fungsi di dalam masyarakat.sementara perubahan kebudayaan adalah ketidak sesuaian unsure kebudayaan sehingga menimbulkan keadaan yang serasi fungsinya dalam masyarakat.
  1. Pembahasan
Meskipun tradisi ini tetap dilanjutkan namun ada perubahan yang mendasar seperti tradisi bergulingan dan buang sebel tidak lagi dilakukan.Demikian pula mandi bersama para muda mudi tidak lagi dilakukan.
Malam kliwonan sekarang lebih banysak dijadikan ajang rekreasi dan pasar tiban atau pasar malam sedangkan tradisi mandi di Sungai Kramat diganti dengan rekreasi muda mudi untuk menikmati indahnya alam serta melihat musik dangdut.
  1. Penutup
Perubahan social budaya pada tradisi kliwonan  sekarang bergeser kearah ekonomi.Kegiatan ritual yang tidak realistis karena tergeser modernisasi dan meningkatnya masyarakat dalam keberagamaan.Dan Hendaknya pemerintah memberi fasilitas yang memadai di lokasi kegiatan termasuk di obyek sungai Kramat dengan didirikannya panggung atau fasilitas pentas atau tenmpat pameran kesenian masyrarakat Batang.

Puisi Sejarah

Tragedi dari Kebon Rojo :
Peristiwa 3 Oktober 1945 di Pekalongan
                                                                           B Indriyanto

Memandang patung monumen di hari senja
ingin menerawang ke masa purba
di tahun empat lima, bulan oktober hari ketiga
episode sejarah terjadi sudah
seperti yang telah diceritakan simbah :
tentang sepenggal revolusi lokal berdarah

Gema proklamasi dari pegangsaan 
dibawa burung, angin serta gerbong kereta api
bagai embun teterkan kesejukan sukma
pelepas dahaga dari panasnya angkara
yang berpuluh bahkan beratus tahun renjana

Sang petinggi ingkar janji
rakyat mesti ambil alih dari kempetai
dengan aksi maupun kompromi
asal rakyat bersatu padu dalam damai

Pagi yang cerah  massa datang dari berbagai arah
berjejer di Kebon Rojo melimpah ruah
sambut pemimpinnya berunding dengan gagah

Namun
dalam suasana perundingan, terdengar letusan tembakan
entah dari mana, entah oleh siapa
disusul berondongan mitraliur jepang meraung garang mencari mangsa

banyak yang berteriak kesakitan
semua geram, raga tak mampu melawan

ini bukan pertempuran kawan
tetapi pembantaian rakyat pekalongan

suasana mencekam, sepi dan sunyi
tiga puluh tujuh nyawa melayang
dua belas orang tergeletak, sekarat dan cacat

hai kawan, semangatmu takkan pernah hilang
tetap terpatri dihati anak negeri
yang selalu memaknai serta memberi arti
pada tulang-tulang yang mati
untuk dipersembahkan kepada bunda pertiwi

                                                                                                Pekalongan, 7 Mei  2007

( Antologi Puisi Tentang Kota Pekalongan , Agustus 2007 )


Untuk Anggota MGMP Sejarah SMA Kab Batang

Mohon maaf karenabanyaknya kesibukan, kegiatan  mgmp belum dilaksanakan.Semoga setelah UN kita bisa kumpul lagimembahas kegiaqtan pengisian blog MGMP oleh anggota dan rencana Jelajah Sejarah Lokal di Situs Silurah Wonotunggal.


Pengurus MGMP


B Indriyanto