MELACAK JEJAK-JEJAK KERAJAAN MAHASIN
Oleh
: Entjeng S.Sudjana
Sore
itu sekawanan burung bergerombol menuju sarangnya setelah seharian “menjarah”
persawahan siap panen di desa Masin. Sepotong kaca di selokan kecil yang airnya
kotor berkilau diterpa matahari senja. Jalanan utama di desa yang sejak lama
dikenal sebagai pengrajin kulit itu sekarang tampak lengang menjelang adzan
magrib berkumandang. Tidak ada yang luar biasa di desa Masin . Suasana
keseharian desa dalam wilayah kecamatan Warungasem Kabupaten Batang Jawa Tengah
itu seperti halnya desa-desa lain di kawasan pantura tampak sederhana dan
agamis. Tapi tokoh terkemuka sejarawan Indonesia Purbatjaraka menetapkan bahwa di desa Masin
inilah pusat kerajaan Mahasin berada. Mahasin adalah sebuah kerajaan yang
disebut-sebut dalam berita Cina yang diperkirakan berdiri pada Abad VII M yang
sampai saat ini terus “diburu” sejarawan karena diyakini sebagai prolog
lahirnya Borobudur dan Prambanan. Sejarawan lain , Slamet Mulyana dalam bukunya “Dari Holotan ke
Jayakarta” menyimpulkan bahwa Mahasin itu tidaklah lain dari Tarumanegara . Menurut
dia Kerajaan tertua di Indonesia setelah Kerajaan Kutai itu sesudah
ditaklukan oleh kerajaan Sriwijaya disebut Bhagasin kemudian jadi Bekasi yang ditransilitasikan oleh seorang
pendeta Cina bernama I tsing yang pernah berkunjung di Mahasin menjadi Mo -ho -hsin. Menurut I tsing yang dikutip Slamet Mulyana
dalam buku tsb. Kerajaan Mahasin terletak
di laut selatan antara Shih -li-fo-shih
(Sriwijaya) di Palembang dengan Ho-ling (Keling) yang di lokasikan
di lembah sungai berantas (Jawa Timur).
Pendapat
Slamet Mulyana saat ini diterima luas
karena argumentasi ilmiah dalam bukunya
“Dari Holotan ke Jayakarta” sangat meyakinkan, tapi sebenarnya pendapat
Purbatjaraka yang berpendapat bahwa lokasi kerajaan Mahasin terletak di desa Masin jauh lebih
masuk akal. Hal itu didukung faktang fakta
berupa : peranan desa Masin dalam sejarah, kondisi fisik desa Masin yang cukup
meyakinkan seandainya dijadikan pusat
kerajaan Abad VII, adanya temuan
arkeologi klasik disekitar desa itu,
adanya toponim yang sama atau sekurang-kurangnya mirif dengan toponim Mo
– ho - hsien, dan adanya keterkaitan
suatu peristiwa dengan peristiwa lain dalam
kesesuaian kisi-kisi waktu.
Sejarah
mencatat sejak jaman klasik (jaman Hindu dan Budha) desa Masin telah berperan. Menurut prasasti Erlangga l032 M , raja Erlangga pernah datang di desa
Masin untuk menghancurkan musuh-musuhnya. Dalam prasasti itu disebutkan raja
Erlangga menghadiahkan desa baru kepada
penduduk Masin sebagai balas budi pada penduduk desa itu yang banyak
membantunya . Kemudian pada jaman Islam , Masin menjadi pusat penyebaran Agama
Islam ditandai adanya makam ulama
besar Syeh Tolabuddin. Lalu pada jaman
Mataram , Sultan Agung menugaskan
Adipati Manguneng sebagai
penguasa Batang dan Pemalang berkedudukan di Masin. Sultan Agung juga pernah memberi tugas kepada
kakak beradik , yaitu Mandurorejo sebagai Adipati Batang dan Uposonto , adiknya
sebagai adipati Pekalongan. Dan pada jaman Belanda sampai menjelang perebutan kemerdekaan, Masin berstatus sebagai sebuah distrik. Dengan
demikian denyut kehidupan telah berdetak di desa Masin sekurangnya dua belas
abad. Saat ini yang tersisa dari
desa Masin dan desa-desa sekitarnya seperti desa Sijono, Menguneng,
Sawah Joho, Lebo, dan Kalisalak adalah profil pedesaan dikelilingi persawahan
tetapi jalan-jalan, gang-gang dan kelokan-kelokan dalam desa-desa tersebut membentuk labirin yang sangat ruwet yang
dapat membuat orang tersesat.
Secara
fisik desa Masin merupakan dataran rendah yang subur sehingga tidak aneh jika
sejak dahulu kala menjadi tempat
pemukiman. Desa ini diapit dua pelabuhan
yaitu pelabuhan Batang dan Pekalongan. dengan sungai-sungai besar dan
kecil bermuara dikedua pelabuhan tersebut. Sekitar l2 km dari Masin terdapat bukit bernama Ujungnagoro yang
tinggi nya l3 meter menjorok ke laut yang sangat bagus dijadikan
tempat mengintai kedatangan kapal musuh. Desa Masin dialiri sebuah sungai besar bernama sungai Loji yang bermuara di Pelabuhan Pekalongan. Sungai
Loji dengan ketiga anak sungainya yaitu sungai Kupang, Retno dan Sumilir
diperkirakan berperan penting bagi komunitas Abad VII karena banyak temuan
arkeologi Abad VII seperti patung, lingga , yoni dan pecahan tembikar ditemukan ditepian sungai-sungai tersebut.
Dengan demikian fisik dan geografi desa Masin cocok untuk dijadikan pusat
kerajaan, bahkan siapapun orangnya yang pada Abad VII mendirikan keraton disana
pastilah orang itu akhli strategi ulung. Adalah
wajar jika ada orang meragukan desa Masin sebagai pusat kerajaan Abad VII
karena di lokasi desa ini tidak
ditemukan candi, patung, sisa bangunan
keraton maupun peninggalan sejarah lainnya. Tapi nanti dulu, hal ini mungkin
ada kaitannya dengan berita Cina dari periode Dinasti Tang, bahwa bangunan-bangunan kota kerajaan di Jawa
periode Jawa Tengah ( Abad VI s/d Abad X M) ,”tembok-tembok kotanya hanya
terdiri dari papan-papan kayu , sedangkan bangunan-bangunan besar tempat
tinggal raja dan para keluarganya dibuat
berlantai dua dengan menggunakan atap daun palma” (Supratikno Raharjo :
2002,343). Dalam kondisi demikian wajarlah jika kerajaan Mahasin tidak
meninggalkan bekas keraton. Selain itu disepanjang jalur pantura hampir tidak
dapat ditemukan peninggalan jaman klasik, mungkin karena ulah manusia atau
karena bergesernya garis pantai selama berabad-abad akibat rob, erosi dan abrasi. Tapi sekitar 7 km
sebelah selatan desa Masin, tepatnya di desa Silurah kecamatan Wonotunggal yang letaknya agak terpencil dikaki gunung
Rogokusumo ditepian sungai Sumilir, terdapat tempat “misterius” mirip bunker alam
yang terkesan angker terdapat patung Ganesya dengan langgam Cibuaya I , sebuah
arca tidak berkepala dan semacam kolam kuno
yang dulunya mungkin berfungsi sebagai petirtaan. Tidak jauh dari tempat
ini , ditepian sungai Kupang, terdapat watu gilang tempat duduk raja, lingga
semu, watu ronggeng dan relief gajah
buaya , kesemuanya dilihat dari langgam
dan gaya pahatannya sejaman dengan
patung Ganesya di Silurah. Relief
gajah-buaya yang ditemukan
ditepian sungai Kupang itu sangat menarik, menggambarkan gajah, buaya ,
garuda dan tangan manusia . Relief
semacam ini konon didunia hanya ada dua buah, yang satunya lagi berada di
Mysore India. Masih banyak temuan arkeologi
di desa dan kecamatan dalam wilayah kabupaten Batang yang menunjukan bahwa ditempat itu
terdapat kerajaan atau bagian dari kerajaan , hanya sayangnya
belum mengarah pada penyebutan nama sebuah negara..
Paktor lainnya yang memperkuat dugaan desa
Masin sebagai pusat kerajaan Mahasin adalah adanya toponim yang sama atau mengarah pada toponim “Mo-ho-hsien.”
Menurut Buku Sejarah Batang “ yang
disusun Pemerintah Kabupaten Batang pada tahun l993 , kerajaan Mahasin dipimpin
oleh raja sekaligus pendiri kerajaan tsb bernama Sana . Nama “Sana “ tidaklah asing dalam sejarah
Nusantara, karena muncul dalam “Carita Parahyangan” dan “Pustaka Raja-Raja I
Bhumi Nusantara “ serta dalam prasasti tertua yang ditemukan di P.Jawa yang
berangka tahun 732 M yakni prasasti “Canggal”. Raja Sana atau Sena yang biasa
dipanggil Bratasena atau Mahasena semula adalah raja Galuh yang dikudeta oleh
adik kandungnya sendiri bernama Purbasora. Tapi nasib mujur Sana dan
prajuritnya yang setia dapat
menaklukan Medang Kamulan, sebuah
kerajaan yang diperkirakan terletak di lereng gunung Kamulan , sekarang termasuk Wilayah kecamatan Blado, Batang,sekitar l5 km dari
Masin. Sana yang berambisi
untuk menguasai perdagangan
mungkin memindahkan pusat kerajaannya
ke tempat yang lebih dekat dengan lautan serta mengganti nama keratonnya
dengan namanya sendiri “Mahasena “..Dalam kaitan inilah toponim
Mo-ho-hsien, yaitu nama negara yang dikunjungi
I tsing sangat mirip dengan Toponim “Mahasena”, nama kerajaan yang
didirikan Sana.
Keterkaitan
manusia, benda dan peristiwa dalam kisi
kisi waktu akan semakin memperkuat dugaan bahwa Mahasin itu memang berlokasi di
Masin. Dalam prasasti Canggal diceritakan keperkasaan raja Sana dalam
menaklukan musuh-musuhnya sehingga
wilayah Mahasin semakin luas dan mungkin
pada saat itu telah mampu menguasai
jalur perdagangan Batang, Pekalongan, Pemalang , dan Tegal .
Sadar akan bahaya yang senantiasa mengintai setiap saat, raja Sana mengungsikan putra mahkotanya yang bernama
Sanjaya yang baru berumur 7 tahun ke tempat tinggal mertuanya di lereng
Bgunung Merapi. Kelak Sanjaya akan
menjadi tokoh terkemuka pendiri dan raja
pertama Medang I Bhumi Mataram. Perkiraan raja Sana samasekali tidak meleset,
karena pada tahun 686 M datanglah serbuan Sriwijaya . Armada Sriwijaya seperti tsunami yang menyapu kerajaan
-kerajaan yang ada di bumi Jawa yaitu
Mahasin, Tarumanagara dan Kholing (Kaling). Serangan Sriwijaya atas
Bhumi Jawa itu diabadikan dalam Prasasti Kota Kapur, sedangkan penguasaan
Sriwijaya atas Mahasin tersirat dalam prasasti Sojomerto. Seiring
dengan itu munculah tokoh paling terkemuka dalam sejarah Nusantara jaman klasik
yaitu Dapunta Selendra atau lebih dikenal dengan nama Dapunta Sailendra,
mungkin tokoh tsb adalah panglima tentara Sriwijaya yang menyerbu Bhumi Jawa. Atas jasa-jasanya menaklukan Bhumijawa, maka
Raja Sriwijaya Dapunta Hyang Jayanagara menobatkannya menjadi
raja Mahasin. “Nama Mahasin “ tetap dipertahankan oleh penguasa baru itu dengan dua alasan, pertama, dari
berita-berita Cina diketahui setelah tahun 686
Mahasin masih mengirimkan upeti ke negeri Cina, dan fakta menunjukan
bahwa walaupun nama Sailendra terkenal sampai di mancanegara, tapi nama
kerajaan dari Dinasti Sailendra di pulau
Jawa itu tidak diketahui orang. Hal itu erat berkaitan dengan
karakteristik kerajaan Sriwijaya sebagai
negara maritim, walaupun memiliki armada yang sangat kuat tidak punya kekuatan mengontrol semua aspek kehidupan
negara-negara yang ditaklukannya .
Karena itu putra Mahkota Sanjaya dibantu sisa-sisa laskar Mahasin yang
setia mendapat peluang untuk konsolidasi dan berhasil mendirikan kerajaan baru
Medang I Bhumi Mataram. Kelak antara
Mahasin dibawah penguasa baru dan Medang I Bhumi Mataram bukan saja tidak
saling menjatuhkan malahan bersimbiose
dan saling membutuhkan sehingga
masing-masing menjadi negara yang besar.
Persoalan lain yang
perlu dijawab ialah , “apa sebabnya atas negara yang sama mendapat sebutan
berbeda ?” I tsing menyebut negara itu Mo-ho-tsin, Sriwijaya menyebutnya
Bhumijawa, dan orang Sunda menyebutnya
Medang Agung. I tsing diperkirakan datang langsung kepusat kerajaan Mahasin
pada tahun 692 atau 6 tahun setelah Sriwijaya menundukan Mahasin dan
mendapatkan sebelah barat keraton mahasin
yang sekarang jadi wilayah Pekalongan terdapat atribut -atribut agama
Budha . Itulah sebabnya I tsing memberitakan “Mo - ho - tsin adalah negara di
laut selatan yang beragama Budha.. Sampai saat ini di wilayah Pekalongan
terdapat tempat-tempat dengan atribut kebudhaan seperti Kasogatan, Sangkara, Pavitra, Mayonang,
Buaran dll. Sedangkan Sriwijaya
mengartikan nama suatu negara identik
dengan pelabuhan negara itu. Diduga toponim “Bhumi Jawa” itu adalah nama dari pelabuhan Tegal pada Abad VII. Toponim
“Bhumijawa” sekarang terdapat 30 km selatan kota Tegal . Adapun Sebutan “Medang
Agung” berangkat dari Fakta bahwa pada
Akhir Abad VII di pulau Jawa terdapat
banyak tempat bernama “Medang”, tapi hanya satu yang terbesar dan megah
yaitu “Medang Kamulan “ alias
Mahasin. Dengan demikian “wacana” Masin sebagai pusat kerajaan Mahasin meningkat statusnya menjadi “dugaan kuat”
atau prediksi. Tapi kepastian nya menunggu kiprah para ahli sejarah untuk
membuat peninggalan arkeologi Abad VII
di Batang , Pekalongan. Pemalang dan Tegal
“berbicara” menceritakan riwayatnya masing-masisng.
Sangat informatif, saya ini lagi melakukan penelitian untuk kerajaan mahasin. Bisakah untuk berbagi info pak ke email Imam.fajrul7@gmail.com Matur sembah suwun
BalasHapusAssalamualaikum pak entjeng sujana dan pak imam, bisa minta nomer wa maturnuwun. Sy mau konsultasi. Krna sy menganggap info ini sangat penting. Timaksh ini wa saya ahmad magelang 081957110001
Hapus