Sabtu, 2008 September 20
Patung Ganesha di Batang
KASUS pencurian,
perusakan dan perdagangan arca kerap terjadi di berbagai daerah, termasuk
Batang. Beberapa kali terjadi penggelapan aset-aset purbakala. Arca Ganesha di
Desa Rejosari, kecamatan Tersono jadi sasaran pencurian. Kemudian, arca Ganesha
di Desa Silurah, kecamatan Wonotunggal, beberapa kali hendak dicuri, untung
bisa digagalkan. Sebagian kepala arca juga dipenggal. Dan bisa jadi, kejahilan
serupa di masa-masa mendatang akan terulang lagi.
Fakta di atas
merupakan preseden buruk bagi dunia kepurbakalaan, sekaligus cermin rendahnya
penghargaan masyarakat terhadap benda-benda cagar budaya.
Upaya pemerintah
melindungi aset-aset purbakala lewat perangkat Undang-Undang tampaknya belum
cukup ampuh untuk meredam kasus-kasus pencurian. Masyarakat masih menganggap
arca-arca peninggalan jaman purba, sama dengan batu-batu biasa yang bisa dijual
seenaknya.
Bicara tentang
soal pencurian Ganesha, tampaknya terjadi paradoks yang menggelikan. Kita tahu,
Ganesha menyimpan nilai filosofi yang mendalam. Dalam sejarahnya, arca ini
menyimpan nilai-nilai kearifan dan dibuat sebagai simbol ilmu pengetahuan.
Patung Ganesha antara lain digambarkan sedang menyerap otak, dimana otak
merupakan sumber kesadaran dan alat penting untuk menyerap ilmu pengetahuan.
Ini merupakan pesan penting, bahwa hanya dengan pengetahuan yang tinggi
manusia bisa menjunjung martabatnya. Maka sungguh ironis jika filosofi tersebut
diacak-acak sendiri oleh oknum pencuri dan perusak Ganesha. Orang yang mencuri
Ganesha sejatinya telah menelanjangi diri-sendiri dengan sikapnya yang bodoh
dan kering ilmu pengetahuan.
Wong Ngerti
Orang awam pun
bisa menebak bahwa yang suka mencuri arca-arca pasti wong ngerti
(berpengalaman). Setidaknya mereka tahu bahwa benda-benda itu laku dijual dan
harganya mahal. Tidak cukup hanya itu, mereka pun pasti tahu seluk-beluk
perdagangan arca. Mereka juga paham bahwa mencuri dan menjual benda-benda cagar
budaya termasuk pelanggaran Undang Undang dan pelakunya (jika tertangkap) bisa
dipenjara.
Tengoklah kasus
menghebohkan soal pencurian sejumlah arca di Museum Radya Pustaka Solo belum
lama ini, ternyata pelakunya justru melibatkan orang dalam (wong ngerti)
yang semestinya harus menjaga aset-aset negara tersebut.
Itulah sisi buruk
dunia kepurbakalaan kita. Pangkal persoalannya adalah rendahnya kesadaran
masyarakat dalam menjaga dan mengapresiasi benda-benda cagar budaya, sehingga
muncul upaya-upaya busuk untuk menghilangkan sumber ilmu pengetahuan dengan
cara perusakan, pencurian, sampai pemalsuan. Faktor mentalitas nggragas
(serakah) jelas sangat berperan di sini. Orang kalau sudah serakah, semua mau
ditelan, termasuk patung sekalipun.
Seluruhnya selalu
berujung pada soal uang, yang selalu membuat orang ngiler. Budaya
materialistis mampu membalikkan logika sehingga mendorong manusia berbuat tidak
wajar, bahkan mengingkari pengetahuan yang dimiliki. Ilmu pengetahuan ada
kalanya bukannya membuat manusia menjadi bijak, tetapi justru menjadi kian
norak.
Dan satu lagi
yang mungkin layak diwaspadai, yakni adanya oknum masyarakat yang memang
membenci arca karena alasan keyakinan, sehingga merasa “perlu” untuk merusak
atau membuang arca-arca itu karena khawatir bisa menggelincirkan masyarakat
pada perilaku syirik alias menyekutukan Tuhan. Dan itu adalah dosa besar.
Begitulah cara
pandang hitam-putih, tanpa memahami proses peradaban manusia yang terus
berubah. Orang-orang dahulu mungkin memuja-muja ruh leluhur lewat perantara
arca-arca. Tetapi jaman sekarang paradigmanya sudah berubah. Orang melihat arca
karena ingin rekreasi, napak tilas, syukur bisa menimba pengalaman dan
pengetahuan baru melalui benda-benda bersejarah.
Memegang sebuah
keyakinan memang tidak dilarang, tetapi tidak lantas bersikap radikal ingin
menghancurkan arca hanya karena dianggap mengganggu akidah (diberhalakan). Karena
secara fisik arca hanyalah batu, sama dengan benda-benda lainnya. Konsep
berhala adalah soal penafsiran. Dan semua benda, tidak hanya arca, pada
prinsipnya bisa berubah menjadi berhala, tergantung dari sisi mana orang
menafsirkannya.*** (Foto dan teks: Kawe Samudra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar