MGMP SEJARAH SMA

MGMP SEJARAH SMA
Kegiatan Guru Sejarah SMA se Kab Batang

Minggu, 15 April 2012

Karya Nur Khasanah, pendidik di Batang

11 Agustus 2008
Menelusuri Jejak Pahlawan Kalisalak
  • Oleh Nur Khasanah
 
 
 
TAK lama lagi, segenap bangsa Indonesia bakal merayakan HUT Ke-63 Kemerdekaan RI. Bagi masyarakat Batang, momen peringatan Hari Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus itu sekaligus memiliki makna khusus, apabila dikaitkan dengan kiprah pahlawan Kalisalak.

Jejak pahlawan Kalisalak merupakan file penting yang patut diketahui, kususnya bagi masyarakat Batang, yang secara historis memiliki kedekatan batin dengan sosok pejuang yang pernah hidup sekitar dua abad lampau itu.

Paling tidak, warga Batang memiliki semacam kebanggaan karena memiliki pahlawan, meskipun gelar penghormatan ini baru diberikan pemerintah tahun 2004, melalui Keppres No 089/TK/2004 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun, siapakah sebenarnya pahlawan Kalisalak? Dialah KH Ahmad Rifa‘i, ulama pejuang sekaligus pembaharu dalam pemikiran keagamaan dan kemasyarakatan. Disebut pahlawan Kalisalak, karena dia pernah dibuang di kawasan terpencil tak jauh dari Alas Roban. Tepatnya di Kampung Kalisalak, Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang.

Di daerah pembuangan inilah, Kiai Rifa‘i berkiprah menggerakkan masyarakat melalui jalur pendidikan. Dia melakukan agitasi melawan kolonial Hindia Belanda, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Bahkan sejarahwan Prof Dr Sartono Kartodirdjo menyebut Kiai Rifa‘i sebagai sosok yang reformis dan fundamentalis.

Sarana Pembelajaran

Tanpa bermaksud menafikan para tokoh sejarah lain, yang kini berbaring di Taman Makam Pahlawan Kadilangu Batang, maka pembicaraan tentang sepak terjang Kiai Rifa‘i memiliki makna sebagai sarana pembelajaran bagi generasi masa kini.

Minimal warga setempat tahu bahwa Kabupaten Batang juga punya pahlawan.
Kiai Rifa‘i lahir di daerah Tempuran, Kendal, pada tanggal 13 November 1785 (versi lain menyebut 1786), atau bertepatan 9 Muharram 1200 H. Ayahnya bernama Muhammad Marhum bin Abi Sujak Wijaya, alias Raden Sukocito; seorang penghulu. Sedangkan ibunya bernama Siti Rochmah.

Kiai Rifa‘i belajar di sejumlah pesantren. Kepintarannya di bidang agama mendorongnya selalu bersikap kritis terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di usia muda, dia pernah dipenjara dan dikeluarkan dalam usia 30 tahun dan langsung berangkat ke Makkah menunaikan ibadah haji.

Selama bertahun-tahun, dia menetap di Tanah Suci. Kesempatan berharga ini dimanfaatkannya untuk berguru kepada sejumlah ulama besar, antara lain Syekh Ustman, Syekh Fakih Muhammad ibnu Abdul Aziz Al-jaisyi, dan Syekh al-Barowi. Kiai Rifa‘i juga berguru kepada pengarang kitab Fathul Qarib yang sangat terkenal, Syekh Ibrahim Al-Bajuri.

Pulang ke Tanah Air tahun 1832, dalam usia 51 tahun, Kiai Rifa‘i kembali mengumandangkan semangat nasionalisme dan antikolonialisme. Gerakan perlawanan ini lebih menekankan pada aspek keagamaan dengan budaya masyarakat lokal.

Dia membuka kesadaran masyarakat untuk menjadikan Islam sebagai ruh kehidupan dan perjuangan. Dalam serangkaian tulisannya, Kiai Rifa‘i menyebut Belanda sebagai kafir. Maka, siapapun yang berkolaborasi dengan Belanda juga dianggap kafir.

Kitab Tarajumah

Kiai Rifa‘i dikenal sangat dekat dengan rakyat, karena mampu mengajar agama dengan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya. Ia menulis sekitar 55 judul kitab dengan huruf pegon, yang hingga sekarang masih dibaca oleh para pengikutnya. Kitab-kitabnya diberi nama Tarajumah, yang artinya terjemahan. Nama Tarajumah inilah yang akhirnya menjadi ikon perjuangannya menentang penjajah.

Dalam perjuangannya melawan Belanda, Kiai Rifa‘i setidaknya menggunakan tiga ideologi. Pertama, menganggap pemerintah kolonial Belanda adalah kafir karena menindas rakyat.

Kedua, kaum birokrat tradisional adalah antek-antek Belanda, dan karenanya juga dianggap kafir. Ketiga, praktik keagamaan tidak boleh dicampur dengan kepercayaan nenek moyang.

Pandangan ini akhirnya tersebar luar di masyarakat. Akibatnya Kiai Rifa‘i ditangkap Belanda untuk kali kedua, dengan tuduhan menghasut rakyat.
Dan, seperti dijelaskan di awal tulisan, ia lalu diasingkan di sebuah desa terpencil, Kampung Kalisalak, Kecamatan Limpung, tahun 1838.

Di sanalah Kiai Rifa‘i membangun sebuah pondok pesantren sebagai basis perjuangannya. Tinggal di pengasingan tidak menyurutkan semangatnya untuk menentang penjajah. Belanda pun marah, sehingga Kiai Rifa‘i ditangkap lagi, tapi kali ini dibuang ke Ambon, Maluku.

Sepuluh tahun setelah masa pembuangan itu, tepatnya pada 11 Juni 1869, Kiai Rifa‘i wafat. Jenazahnya dimakamkan di Ambon. Kendati jasadnya menjauh dari Batang, jasa-jasa Kiai Rifa‘i pantas dikenang bukan saja oleh masyarakat Batang tetapi masyarakat Indonesia. Maka, sangat ironis jika masyarakat Batang sampai tidak mengenal pahlawan Kalisalak itu. (32)

— Nur Khasanah, pendidik, tinggal di Batang.


Diambil dari Suara Merdeka Cetak.com Tanggal 16 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar